Pahlawanku

1,346 kali dibaca

Asap dari dapur Ibu mengepul. Bisa tampak dari luar rumah karena asapnya membubung keluar melalui celah dinding anyaman bambu. Terdengar suara piring pecah dari sana. Spontan aku berlari dan sampai di dapur mendapati Ibu sesenggukan dengan Fina, adikku di gendongan Ibu.

“Ibu baik saja?” Aku mendekati Ibu. Langkahku pelan. Batinku berdoa semoga yang aku lihat salah. Selama ini Ibu selalu menyuguhkan senyumannya. Baru kali ini terlihat jelas Ibu mengusap jejak kesedihan itu. Ibu tak mau aku merasakan kesedihan yang sedang dideranya.

Advertisements

“Enggak pa-pa, Jo. Ibu baik saja. Hanya tadi piring di tangan Ibu lepas, jadi Ibu sedikit syok. Bapakmu sama siapa? Kok, ditinggal sendiri? Sana temanin,” titahnya.

Aku menuruti perintah Ibu. Sebulan terakhir ini Bapak mengidap stroke. Mulutnya tak bisa mengeluarkan kata-kata jelas. Setengah badannya lumpuh. Maka dari itu, kami selalu ada di dekat Bapak untuk melayani dan merawatnya. Termasuk, saat Bapak berjemur di luar rumah seperti saat ini. Aku bertugas menemani Bapak, sedangkan Ibu memasak di dapur.

Sebelum sakit, Bapak bekerja sebagai tukang bangunan. Setelah sakit tak ada lagi pemasukan untuk keluarga kami. Karena itu Ibu terpaksa membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami dan pengobatan Bapak. Mulai cuci baju, menyetrika baju tetangga, dan jika ada yang membutuhkan tenaga Ibu segera mengiyakan demi uang.

Sebagai anak sulung, aku bertekad untuk sekolah dengan rajin dan mendapatkan beasiswa sampai cita-citaku tercapai. Dokter. Iya, supaya bisa mengobati Bapak tanpa bayar dan mengobati rasa lelah Ibu. Masih terlihat jelas di gambaran masa laluku, Bapak begitu gagah menggendongku saat aku menangis meminta robot-robotan.

“Ayok, sini. Bapak yang jadi robotnya.” Bapak menawarkan punggungnya untuk kunaiki. Seketika tangisku berhenti. Terima kasih Bapak telah menghapus sedihku kala itu. Kini, aku akan berjuang demi lengkungan simetris di wajahmu.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan