Oleh-oleh Buat Mamak

789 kali dibaca

Bapak tinggal berdua sama mamak. Kami anak-anaknya merantau semua. Aku ke Aceh. Dua abangku ke Merauke. Sungguh jarak yang jauh di mata. Tapi hati kami tetap terasa seatap. Tiap saat kami saling menelepon, atau video call.

“Apa kabar Mak?” sapaku melalui VC.

Advertisements

“Baek-baek saja. Alhamdulillah,” jawabnya di seberang sana. Kulihat di belakang mamak, bapak sedang mengaji. Sejuk sekali melihatnya.

“Apa kabar kau, Din?” kakakku yang di Merauke menyahut.

“Baik Bang. Abang sendiri?” tanyaku. Dia tak menyahut. Gambarnya tak jelas.

“Bang Jono kehilangan sinyal Mak,” tukasku, memberi tahu mamak.

“Apa kau bilang, Din? Masak Joni ditinggal istrinya lagi?”

Kening kami mengkerut, kebingungan memahami ucapan mamak. Tapi tiba-tiba Bang Andre terbahak-bahak.

“Sinyal, Mak. Joni kehilangan sinyal. Bukan Inal, istrinya Joni itu,” sahut Bang Andre.

“Ah. Nggak jelas kali kau ngomong, Ndre. Sinal-sinal, apalah itu,” mamak menggerutu tak paham kosa kata baru dari anaknya. Dia memang tak paham teknologi, pendengarannya pun sudah sedikit terganggu. Bertelepon video ini saja dia butuh bantuan tetangga.

“Sinyal itu untuk nelepon, Mak. Bang Joni kehilangan sinyal, bukan Inal, istrinya yang baru itu,” ucapku berikutnya.

“Ah. Nggak bilang dari tadi kau ini, Din.”

Kami terbahak hingga beberapa saat.

“Sama bapak kalian ditanyai, kerja berapa tahun kalian ini, beli sinyal saja tak kuat. Berapa sebenarnya harga barang itu? Biar dijual sapi di kandang itu untuk beli sinyal. Agar mamak tetap bisa lihat wajah kalian di HP,” tanya mamak dengan mimik serius.

“Kau pinjami uang dulu abangmu itu, Din, biar mamak nggak jadi jual sapi,” pinta Bang Andre yang juga di Merauke, sambil ngakak.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan