Nyai Seppo

Nyi Seppo, Sang Pendidik Perempuan Madura (Mengenal Nyai Siti Maryam)

8,912 kali dibaca

HAMPIR SETIAP hari, selalu ada saja tamu yang berkunjung ke ndalem. Ada yang hanya ingin silaturahmi dengan Mbah Nyai Siti Maryam atau lebih dikenal sebagai Nyi Seppo, yang artinya adalah Nyai Sepuh (sepeninggal almarhum Mbah Kiai Ahmad Jazuli, suaminya, tinggal Mbah Nyai satu-satunya sesepuh di Pondok). Ada yang minta doa, ada yang meminta nasihat, ada yang mengantarkan santri mondok. Ada pula yang memamitkan santri. Mbah Nyai selalu menerima semua tamu itu dengan gembira, betapa pun banyaknya yang berkunjung, betapa pun letihnya beliau, semua ditemui dengan wajah tersenyum dan keramahan yang tiada duanya. “Kaule sanausa gerre manabi bede tamoy pas sehat rassana. Kaule cek sennenga manggiin tamuy,” begitu tutur Mbah Nyai dalam Bahasa Madura, yang kurang lebih berarti: “Bahkan ketika saya sedang sakit, bila ada tamu rasanya saya langsung sembuh. Saya senang sekali menemani tamu.”

Mbah Nyai memang tidak pernah menolak siapa saja yang datang bertamu. Semua tamu yang selalu ditemui dan dihormati, betapa pun lelahnya atau betapa pun sibuknya. Beliau juga tidak pernah membeda-bedakan siapa tamu yang datang. Tamu jauh, tamu dekat, kaya, miskin, laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya diterima dengan keramahan yang sama.

Advertisements

Dalam adat Madura, umumnya tamu yang sowan ke kyai biasanya dipisah. Tamu laki-laki ditemui oleh laki-laki dan tamu perempuan ditemui oleh perempuan. Tapi, jika sowan ke Mbah Nyai, baik laki-laki maupun perempuan, semua diterima oleh Mbah Nyai, tak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelaminnya. Ketika ditanya, mengapa Mbah Nyai juga menemui tamu lelaki dan bahkan bersalaman dengan tamu lelaki, Mbah Nyai menjawab bahwa semuanya sudah dianggap sebagai anaknya, sehingga tidaklah menjadi penghalang bagi beliau untuk menemui anak-anaknya sendiri.

Menolak Pernikahan Dini

Saya teringat betul sore itu. Cuaca begitu panas dan kami baru tiba di rumah suami di Sumenep (ujung timur Pulau Madura) saat serombongan tamu tampak memasuki ndalem. Setelah ikut bersalaman, saya masuk ke dalam, tidak ikut menemani para tamu. Awalnya samar-samar terdengar obrolan ringan, saling menanyakan kabar dan lain sebagainya, sampai kemudian salah seorang dari para tamu itu berbicara dengan suara lirih pada Mbah. Karena belum begitu paham bahasa Madura, saya bertanya pada suami, apa yang dikatakan tamu itu. Suami menjawab, “Itu mau memamitkan santri.” Saya mengernyit, “Loh kenapa? Bukannya baru mau tahun ajaran baru?” saya bertanya. “Mau dinikahkan,” jawab suami singkat.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan