NU, di Antara Tradisi Transendensi

14,693 kali dibaca

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. NU yang kemudian dapat diartikan sebagai “kebangkitan ulama” lahir atas dasar desakan kaum intelktual muslim (baca: ulama) terhadap fenomena munculnya paham yang menasbihkan pelarangan tradisi kaum sunni. Sebuah pemikiran yang ingin mengembalikan Islam pada ajaran murni, dan ingin berlepas dari tradisi ber-mazhab.

Meskipun para ulama tetap menganut tradisi kekinian (kemajuan berpikir dan berikhtiar), namun kebiasaan kaum ulama salaf (terdahulu) masih tetap dipakai selama masih relevan. Sebuah ungkapan yang tidak asing lagi menjadi prinsip para ulama NU, al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik.

Advertisements

Organisasi NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di kota Surabaya. Rais Aam Suriyah NU yang pertama adalah KH Hasjim Asy’ari yang kemudian disebut-sebut sebagai pendiri organisasi keislaman ini. KH Hasjim Asy’ari kemudian menulis kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) dan I’tiqad Ahlussunah wal Jama’ah‘ (pedoman Ahlussunah wal Jama’ah). Kedua kitab ini kemudian kmenjadi asas dalam amaliah keorganisasian.

Paham organisasi NU adalah ahlussunah wal jamaah, diambil dari nama kitab yang ditulis oleh ketua umum pertama sekaligus pendiri organisasi ini, KH Hasjim Asy’ari. Sebuah paham moderat yang berdiri di antara penganut nasionalis dan skripturalis.

Rasionalis adalah ekstrem aqli, sebuah paham yang hanya mengedepankan rasio atau akal. Sedangkan, skripturalis adalah ekstrem naqli, sebuah paham yang menganut hanya (dan hanya saja) bersumber dari dalil-dalil ketuhanan (al-Quran dan Hadits) dan mengeyampingkan logika ilmiah. Sementara, ahlussunah wal jamaah adalah paham yang menganut kedua ekstrem tersebut, baik secara aqli mapun naqli yang sejalan dengan rasio pemikiran ilmiah.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan