“Ngarit”, Stimulan di Tengah Wabah

8,130 kali dibaca

Kemarin siang, ada pemandangan yang sudah lama tak pernah saya saksikan. Selepas dari swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah, saya melihat ada seorang bapak yang sedang ngarit di sekitar kompleks rumah. Hampir satu tahun saya tinggal di ibu kota, dan baru kali ini saya jumpai seseorang yang masih ngarit, mencari rumput untuk pakan ternah piaraan. Berbeda dengan kehidupan di Jawa Timur, ngarit bukanlah hal yang langka, bahkan kegiatan itu sudah jamak dilakukan masyarakat.

Mungkin untuk orang kota, ngarit bukanlah hal yang istimewa atau bahkan dipandang sebelah mata. Maklum saja, tak banyak orang kota yang bisa angon (menggembala) ternak peliharaan, karena semua sudah kenyang dengan perkantoran. Tapi keseimbangan selalu ada. Di Jawa, ngarit bukanlah sekadar rutinitas untuk mencari rumput saja. Atau bukan pula aktivitas mencari rumput untuk makan ternak saja. Ngarit mempunyai filosofinya tersendiri.

Advertisements

Memang, jika berbicara perihal ngarit, selalu ada kaitannya dengan ternak dan angon. Biasanya orang ngarit bukan untuk dimakan dirinya sendiri, melainkan ternak yang kebanyakan adalah kambing dan sapi. Saya sering melihat orang-orang desa baik dari yang muda sampai ke yang tua, setiap siang menjelang sore, banyak yang menggiring ternaknya, biasanya kambing, menuju ke ladang. Ternak diikat di pasak untuk memakan rumput sekitaran. Sedangkan, si empunya sibuk membabat rumput liar untuk dibawa pulang. Dan aktivitas itu dilakukan setiap hari.

Sempat saya berbincang dengan seorang yang sudah lumayan sepuh, kami membicarakan ngarit saat itu. Di malam dengan ditemani secangkir kopi dan kacang-kacang yang membuat ketagihan.

Ngarit kuwi tegese ngasah wirid.” (Ngarit itu artinya mengasah wirid).

Bapak itu kemudian melanjutkan:

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan