Nasib Buku Tua

575 kali dibaca

Sejenis kemarahan. Akulah penampungan serumpun kisah dari beberapa saudaraku yang seringkali mengisahkan keluh setiap harinya. Takdir kami mata saksi yang setiap harinya menyimpan kebodohan manusia. Lebih tepat nasib menjadi sebuah buku yang jarang dilumat manusia. Seringkali aku membayangkan perihal bangsa yang rakyatnya suka membaca, bertamasya dengan buku-buku di sampingnya, setiap hari, setiap waktu. Lebih baik tentu, jika di taman-taman, di sebuah ruangan dan bahkan dalam kamar mandi pun ada buku di sampingnya. Lebih indah tentunya, jika manusia melepaskan seluruh waktunya untuk membaca.

Betapa majunya suatu bangsa, betapa harmonisnya manusia-manusia di dalamnya, dan betapa riangnya kami yang berguna kepada mereka. Tapi ini cuma bayangan yang sudah ditiadakan, atau cuma suatu harap yang pernah menyala dan saat ini padam ditiup oleh kebodohan manusia. Bangsa yang mujur dengan penduduk warga yang nasibnya sekarat. Dengan alasan ini tulisanku barangkali lebih banyak mengutuk manusia. Maka jangan heran, jika ke depannya beberapa makian yang disuratkan untuk manusia banyak kau temui. Cukup nikmati, tanpa harus melibatkan kemarahan dan konflik antara buku dan manusia. Apalagi kau bukan seorang pelakunya.

Advertisements

Hanya sebagian, tapi inilah kenyataan yang kami temukan setiap harinya. Kau mungkin bertanya jenis buku yang sedang berbicara denganmu ini? Atau bagaimana aku bisa membuka suara dan merangkum kisah dari segala nasib yang menimpa saudaraku? Jawabannya ada di antara bengisnya manusia. Mereka yang bernasib sama adalah saudaraku, meski tidak lahir dari tangan dan kepala yang sama.

Puji syukur Tuhan mempertemukan kami di dalam sebuah ruangan. Ruangan yang luas dengan buku-buku beraneka ragam judul. Mulai dari seni membidik koruptor, menangani kasus kriminal sampai petunjuk jalan menuju surga ada dalam ruangan ini. Tapi pernak-pernik judul dari buku-buku yang ada dalam ruangan ini jarang disentuh manusia. Lebih tepat hanya sebagai koleksi saja, atau tata hias yang memaripurna keindahannya ketika kami berderet rapi. Pun juga aku, lebih banyak bekerja sebagai tatanan ruangan. Kurang lebih begitu. Sebab akulah yang paling lama menerima penderitaan ini.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan