Mutiara dalam Timbunan Sampah

908 kali dibaca

“Pak Dar sudah sarapan?”

“Belum, Bu Niar.”

Advertisements

“Hari ini saya masak lumayan banyak. Saya bawakan untuk Pak Dar sarapan pagi ya?”

“Mohon maaf Bu, saya puasa.”

Pak Dariono melanjutkan tugasnya ke rumah-rumah lainnya. Sepeda motor butut, gerobak yang sudah penuh dengan karatan, karung sak pemisah sampah yang sangat lusuh. Jika ada botol atau plastik, ia letakkan di bagian belakang. Jika di rumahnya sudah menumpuk banyak, ia setorkan ke tukang loak.

Seusai salat subuh, Pak Dariono sudah bergumul dengan rutinitasnya. Memungut sampah di bak-bak sampah para warga yang umumnya tinggal di kawasan perumahan. Tiap hari agar tak ada ulat dan bau. Karena warga menolak jika sampah itu mengendap lama di bak sampah depan rumahnya.

Begitulah keseharian Pak Dariono menjalankan tugasnya sebagai pengangkut sampah. Sampah-sampah itu tiap hari ia buang di TPA yang sekira 5 km jaraknya. Kadang harus tiga sampai lima kali, bergantung banyaknya sampah yang dibuang.

Sebelum dhuhur, biasanya ia sudah sampai di rumahnya. Terkadang bisa juga selepasnya. Pak Dariono sering kali menerima pekerjaan tambahan di luar tugas yang terkadang sepele. Mengganti genting bocor, memompa ban, memperbaiki kran, membenarkan sapu, menghalau ular yang masuk rumah, atau mencari dan membuang bangkai tikus.

Rumahnya tak jauh dari perumahan tempatnya memungut sampah. Beberapa petak rumah yang terbilang sederhana jika tidak ingin dikatakan kumuh dan melata. Berada di antara perumahan menengah dan perumahan mewah. Begitu timpang, bisa jadi rumah-rumah petak itu kelak tergusur dengan tawaran harga lumayan menjanjikan.

“Ada yang bisa dijual, Pak?” tanya istrinya begitu Pak Dariono sampai di rumah.

“Alhamdulillah ada.”

“Sedikit sekali, Pak. Tidak seperti kemarin-kemarin.”

“Astaghfirullah Bu. Kita harus selalu bersyukur. Bapak kan tukang angkut sampah, bukan pemulung.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan