Muazin Tanpa Sarung

2,341 kali dibaca

Alkisah, di sebuah pesantren di ujung Pulau Sumatera. Pada suatu hari, di pengujung malam menjelang fajar. Saat suasana masih begitu hening, udara masih begitu bersih, dan bintang-bintang nampak begitu gemerlap di angkasa, seolah menyapa pada dunia. Pagi sebentar lagi tiba.

Sang Kiai pagi itu melihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30. “Sebentar lagi waktunya adzan,” gumamnya.

Advertisements

Lalu, Kiai menuju ke asrama untuk membangunkan petugas adzan subuh hari itu. Sebut saja Solikin, yang akrab dipanggil Kang Sol oleh kawan-kawan santri. Sebagai salah satu santri tertua di pesantren, Solikin terkenal begitu taat dan takzim pada Kiai.

Saat mendengar suara gesrekan sendal Kiai di depan biliknya, ia langsung jenggirat bangun dan mengambil kopiahnya, mengucek-ucek matanya sambil berpura-pura kalau sudah bangun dari tadi. Solikin pun keluar dari biliknya.

“Lho, sudah bangun, Kin?” tanya Kiai.

“Sudah, Bah Kiai.”

“Lha mau ke mana?”

“Adzan, Kiai,” jawab Solikin.

Padahal, sebenarnya Abah Kiai pun tahu bila Solikin baru saja bangun tidur, dan memang belum berwudhu. Tampak dari wajah kusutnya dan belek yang tertinggal di matanya.

“Solikin…?” panggil Abah Kiai pada solikin yang masih mencari-cari sendal untuk berjalan ke surau.

“Saya, Abah Kiai.”

“Orang adzan itu, walaupun tidak punya wudhu, hadast kecil, pun boleh, meskipun makruh (hukumnya). Tapi, mbok ya….”

“Tapi kenapa Abah Kiai?”

“Kalau adzan mbok ya sarungan. Masa sudah kopiahan, kemejan rapi, sarungnya ndak dipakai….”

Seketika Solikin meraba bagian bawahnya, dan benar saja, tak terasa ada kain sarung membungkus bagian bawa tubuhnya. Pahanya yang penuh bulu yang terasa saat ia sentuh. Berarti benar, teguran Abah Kiai.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan