DI ANTARA BATU DAN LANGIT
Langit di Gaza
tak lagi menyimpan bintang.
Malam telah dibeli
oleh suara besi.

Anak-anak tak belajar menulis,
mereka menghafal bentuk roket
seperti puisi sekolah.
Dan setiap baitnya
berbunyi:
“Ayah, apakah kita akan hidup esok pagi?”
Tuhan bersembunyi
di sela puing.
Sebab nama-Nya
telah dicuri oleh mereka
yang mengusir orang
atas nama tanah yang suci.
Purworejo, 2025.
ELEGI SEHELAI KAFAN
Kain putih itu
bukan untuk pengantin,
melainkan anak perempuan berusia enam
yang belum sempat bercermin.
Ia digendong ibunya
seperti sepotong azan
yang terhenti di tengah takbir.
“Namanya Mariam,”
kata sang ibu,
“Dan ia belum pernah jatuh cinta—
kecuali pada boneka
yang kini terpendam
bersama lengannya yang hilang.”
Purworejo, 2025.
MONOLOG BATU DI TEPI AL-AQSA
Aku batu,
bukan senjata.
Tapi tanganku dilemparkan
oleh bocah yang kehilangan ayah
dan bahasa.
Aku tidak bisa berdoa.
Tapi saat lutut-kaki mereka menciumku,
aku tahu,
tak ada tanah yang lebih suci
dari tubuh yang ditindas.
Tiap pijakan
adalah sejarah yang dipatahkan,
dan setiap jalan
berujung pada luka yang dibungkus
dengan doa paling sunyi:
“Selamatkan kami, ya Rabb,
dari mereka yang mengira Kau milik satu bangsa.”
Purworejo, 2025.
PALESTINA ADALAH SEBUAH PERTANYAAN
Apakah tanah bisa berdarah?
Apakah pohon zaitun bisa berkata:
“Jangan tebang aku,
aku menyimpan kenangan anak yang tertawa di bawahku?”
Apakah doa bisa melewati dinding apartheid