Menimbang Dalil Mendengarkan Musik

1,159 kali dibaca

Apakah kita masih ingat video viral para santri menutup telinganya karena mendengar musik yang disetel saat mereka antre mengikuti program vaksinasi beberapa waktu lalu?

Video yang viral tersebut pertama kali diunggah oleh seorang pegiat musik dan seni yang mempertanyakan: para santri ini kenapa? Apa segitunya sama musik? Lantas viral-lah video para santri tersebut di jagad maya.

Advertisements

Berbagai narasi pun di lemparkan pada para santri dalam video tersebut. Salah satu yang sangat berbahaya adalah narasi bernada intoleran: para santri itu radikal?! Mereka adalah kelompok yang mengharamkan musik dan berbahaya?! Kira-kira seperti itu.

Usut punya usut, para santri tersebut adalah santri takhsus Al-Quran. Mereka adalah santri Pesantren Tahfidz Abdurrahman Basuri, Indramayu, Jawa Barat asuhan Ustaz Amin Sofyan. Karena video santrinya viral,  Ustaz Amin Sofyan pun angkat suara melalui kanal media sosial. Bahwa, santri-santrinya memang dididik untuk selalu menjaga dan mengulang hafalannya. Karena itu, suara bising (tidak hanya music?), dapat membawa pikiran ke mana-mana yang harus dijauhi. Disiplin ini diperlukan dalam rangka menjaga hafalannya itu sendiri.

Sebab, menurut Ustaz Amin Sofyan, menghafal Al-Quran itu tantangannya memang sangat berat. Sedangkan perihal musik, pesantrenya juga tidak berbeda dengan pesantren-pesantren yang lain. Di pesantrennya, santri-santri juga selawatan, bahkan ada esktrakulikuler rebana.

Akan tetapi, hal yang tetap membikin penasaran dan menarik adalah: sikap atau refleks menutup telinga ketika mendengar musik. Hal itu menyulut sudut pandang beragam, mengingat santri dan kultur pesantren yang melekat pada mereka. Hingga timbul sebuah pertanyaan: Apakah hal itu memang ada dalam ajaran Islam? Jikapun benar, apakah ada dalilnya?

Beberapa platform sudah mempublikasikan artikel yang memuat dalilnya, yakni sebuah hadis riwayat Abu Dawud di dalam kitabnya Sunan Abu Dawud. Namun pembahasanya terlalu singkat. Hanya dikutipkan potongan hadisnya, tanpa menjelaskan derajat hadisnya. Karena itu, dalam artikel ini, penulis akan mencoba mengulas ulang hadis tersebut. Sedangkan, perihal hukum musik, alangkah bijaknya kita tidak jawil-jawil atau debat kusir mengenai hal tersebut. Mengingat, persoalan hukum musik adalah khilafiyah yang sudah selesai sejak beberapa ratus tahun lalu oleh jumhur ulama. Hari ini kita tinggal memetik hasilnya. Sesimpel itu.

Menilik Dalil

Hadis yang menjadi dalil dari sikap atau refleks santri menutup telinga yang sering dikutip adalah hadis riwayat Abu Dawud. Di mana, ada seorang sahabat, yakni Ibnu Umar, yang menutup telinga ketika mendengar seruling. Hal tersebut disandarkan pada Nabi. Saat itu Ibnu Umar sedang bersama Nabi. Saat itu Nabi mendengar suara seruling, lantas mengangkat tangan dan menutup kedua telinganya. Adapun, konteksnya seruling adalah alat musik yang mengeluarkan bunyi-bunyian alias musik.

Setelah penulis melakukan takhrij hadis, ternyata riwayat hadis tersebut terdapat di tiga kitab, yakni: Sunan Abu Dawud (nomor hadis: 4278), Sunan Ibnu Majah (nomor hadis: 1891), dan Musnad Ahmad (nomor hadis: 4725). Adapun, yang akhir-akhir ini sering dikutip adalah hadis yang riwayatkan oleh Abu Dawud. Redaksi lengkapnya:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْغُدَانِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ نَافِعٍ قَالَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا قَالَ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ وَنَأَى عَنْ الطَّرِيقِ وَقَالَ لِي يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا قَالَ فَقُلْتُ لَا قَالَ فَرَفَعَ إِصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ وَقَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

“Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Ubaidullah Al Ghudani] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Walid bin Muslim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin Abdul Aziz] dari [Sulaiman bin Musa] dari [Nafi’] ia berkata, ” [Ibnu Umar] mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan jarinya pada dua telinganya seraya menjauh dari jalan. Lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Nafi’, apakah kamu mendengar sesuatu?” Aku menjawab, “Tidak.” Nafi’ melanjutkan; “Ibnu Umar lalu mengangkat kembali jarinya dari keduanya telinganya”, lantas ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau mendengar suara seperti ini dan beliau juga melakukan seperti ini.”

Menurut Imam Abu Dawud, hadis di atas adalah munkar. Hadis munkar sendiri adalah hadis yang derajat (kualitasnya) dhaif (lemah) dikarenakan rawi-rawi dalam sanad hadisnya banyak kesalahan, kecacatan, dan fasik.

Senada dengan Abu Dawud, Imam as Syaukani dalam kitab, Fathur Robbani min Fatawa as Syaukani, juga menjelaskan bahwa hadis menutup telinga ketika mendengar seruling adalah hadis dhoif, yang dikarenakan banyaknya kecacatan pada rawi-rawinya.

Kemudian bagaimana dengan hadis serupa yang ada dalam riwayat Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad? Jawabanya ternyata sama: sama-sama dhoif. Bahkan, Syekh Albani yang seorang Wahabi tulen, dalam kitabnya Tahrim Alat al Tarhb, mengkritisi secara tajam salah satu rawi yang ada di hadis riwayat Ibnu Majah, yakni rawi yang bernama al Laits; bahwa riwayatnya benar-benar tidak bisa diterima.

Tetapi tidak mandek pada titik ini. Hal yang cukup mengagetkan adalah adanya pro-kontra jumhur ulama dalam menilai hadis ini. Di antaranya adalah Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya al Isabah fi Tamyiz al Sahabah (salah satu kitab rujukan dalam menilai para perawi hadis). Ia menjelaskan, bahwa perawi pertama: Ibnu Umar adalah orang yang saleh dan banyak meriwayatkan hadis dan Ibnu Umar adalah sahabat yang masuk Islam bersama ayahnya (Umar bin Khattab), termasuk tidak perlu lagi diragukan tawadhu dan kesetiannya pada Nabi.

Atas dasar itu, Ibnu Hajar as Asqalani menilai hadis menutup telinga karena mendengar seruling adalah hadis yang marfu’ (derajatnya terangkat meskipun dhoif). Hadis marfu’ sendiri adalah segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat yang disandarkan pada Nabi, baik sanadnya muttasil (tersambung) atau munqati’ (terputus).

Pendapat lainnya yang menjadi penguat adalah riwayat atsar yang terbilang sangat ekstrem dari Ibnu Jauzi al Baghdadi dalam kitabnya Tadlis Iblis. Ia menjelaskan bahwasanya Ibnu Umar pernah melewati satu kaum yang sedang melakukan ihram, dan ada di antara kaum tersebut yang sedang bernyanyi. Lantas Ibnu Umar berkata kepada mereka: “Ketahuilah, semoga Allah tidak mendengar doa kalian.”

Riwayat atsar ini sangat ekstrem dan dipakai sebagai penguat hadis menutup telinga karena mendengar seruling. Khususnya, mendalilkan bahwa sanad hadis (rawi-rawi yang terlibat) itu dapat dipercaya.

Selanjutnya ada Ibnu Hajar al Haitami yang mesyarah hadis di atas dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj bi Syarah al Minhaj. Ia menjelaskan:

فهو دليل للّتحريم؛ لأنّ ابن عمر سدّ أذنيه عن سماعها ناقلا له عن النّبيّ صلّى اللّه عليه وسلّم- ثمّ استخبر من تافه هل يسمعها فيستديم سدً أذنيه فلمّا لم يسمعها أخبره فترك سدّهما فهو لم يأمره بالْإصغاء إليها بدليل قوله له أتسمع؟ ولم يقل استمع

“Yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar adalah dalil pengharaman musik, karena Ibnu Umar menutup telinganya itu meniru dan mencontoh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang menjauhi suara seruling, kemudian beliau bertanya kepada Nafi’ apakah suara seruling itu masih terdengar olehnya atau tidak? Dan bukan mengatakan agar mendengarkan (Nafi’).”

Kemudian menegaskan kembali:

ويخرج باستماعها سماعها من غير قصد فلا يحرم

“Perbedaannya ketika mendengarkan ada unsur kesengajaan (maka haram) sedangkan terdengar itu tidak ada unsur kesengajaan, maka tidak haram.”

Syarah oleh Ibnu Hajar al Haitami ini menegaskan sikap yang sama dengan Ibnu Hajar al Asqalani, bahwa hadis menutup telinga saat mendengar seruling adalah marfu’ dan “musik itu haram jika kita mendengar dengan sengaja.”

Kembali pada Imam as Syaukani yang sependapat dengan Imam Abu Dawud, dalam sependek pengetahuan penulis, selain mendhoifkan hadis tersebut, Imam as Syaukani dalam kitabnya yang lain,  Nailul Authar, menukil sebuah atsar dari sahabat alim Abdullah bin Zubair, yang juga keponakan Sayyidah Khadijah yang subtansinya mengatakan bahwa “Musik itu boleh.”

Informasi yang menarik diriwayat atsar ini adah Ibnu Umar yang menjadi “aktor” yang juga “aktor” dari riwayat hadis yang sudah dibahas. Riwayatnya:

وأنّ ابن عمر دخل عليه وإلى جميع غود فقال:ما هذا يا صاحب رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم تناوله إيّاه، فتأمّله ابن عمر فقال: هذا ميزان اسمي؟ قال ابن الزّبير: بوزن به العقول

“Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya (rumah sahabat Abdullah bin Zubair) ternyata disampingnya ada gitar, lantas bertanya: Apa ini wahai sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam? Kemudian Ibnu Umar mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata: ini mizan syamil (alat musik) dari Syam? Berkata Ibnu Zubair: Dengan ini akal seseorang bisa seimbang.”

Imam as Syaukani sendiri berpandagan bahwa musik itu boleh asalkan tidak menarik ke ranah maksiat dan menyekutukan Allah. Maka, dapat kita pahami bahwa hadis menutup telinga ketika mendengar seruling, yang kemudian dijadikan hujjah, sebenarnya terdapat khilafiyah. Ulama-ulama hadis kontemporer pun memiliki pandangan yang sama. Artinya, sama-sama berbeda dalam menilai hadis tersebut.

Kesimpulan

Lantas apa kaitanya dengan video viral para santri yang menutup telinga?

Pertama, hal ini sudah dibantah oleh Ustaz Amin Sofyan selaku pengasuh pesantren, bahwa sikap atau refleks tersebut hanya spontanitas, jikapun itu dilakukan secara berbarengan, itu sekali lagi hanya refleks yang spontan. Sehingga dapat disimpulkan, sekalipun ada dalil (hadis) mengenai ajaran menutup telinga, hal itu di pesantrennya tidak dipraktikkan.

Kedua, jikapun ada yang sepakat dengan penilaian bahwa hadis menutup telinga itu marfu’ dan dapat dijadikan fadha’ ilul ‘amal, tentu boleh-boleh saja (bisa). Asalkan tidak menghakimi yang tidak sepakat secara sepihak. Karena, jika mengikuti apa yang sudah dijelaskan oleh Imam Abu Dawud dan Imam as Syaukani bahwa hadis tersebut munkar, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan fadha’ ilul ‘amal. Alhasil, khilafiyah ini adalah berkah bagi kita, sebagaimana khazanah keilmuan Islam begitu luas dan tidak memberatkan.

Ketiga, sangat disayangkan adanya narasi berbahaya yang dapat memantik tensi keberagamaan, yaitu narasi intoleran: santri itu radikal! Ibnu Kharis, peneliti el Bukhari Institute sekaligus Pimpinan Redaktur Bincangsyariah.co, menilai secara semantis-psikologis narasi yang dilemparkan tersebut sama dengan melabeli para santri dengan istilah kafir.

Maka, marilah kita lebih berhati-hati dan bijak dalam menyikapi sesuatu, khususnya dalam melihat “ekspresi beragama”. Apalagi kita sebagi umat muslim yang awam. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan