Mengusut “Harta, Takhta, Wanita”

1,025 kali dibaca

Akhir-akhir ini, publik milenial Tanah Air sedang diramaikan dengan humor mengenai sebuah frasa. Frasa ini awalnya bergeming di dunia maya dengan wujud sebuah meme serta foto. Dalam layar meme tersebut, banyak dijumpai potret stiker yang ditempel di berbagai peranti, seperti motor, mobil, laptop, dan sebagainya. Sontak, fenomena ini menjadi viral dan diramaikan dengan aktivitas serupa (yakni membuat stiker). Frasa yang dimaksud adalah “Harta, Takhta, Wanita”.

Penulis melihat term ini dijadikan sebuah guyonan sederhana sebagai bentuk kekaguman terhadap seseorang, dengan mengubah kata “Wanita” menjadi nama seseorang, misalnya “Harta, Takhta, Doinya”. Tentu ini sah-sah saja dan menjadi selingan humor di realitas lingkungan kita. Namun, berangkat dari hal ini, penulis bukan bermaksud untuk membahas fenomena tersebut. Akan tetapi, penulis ingin mengungkap dengan sederhana bagaimana frasa tersebut sebenarnya mempunyai kedalaman makna yang amat bernilai apabila ditilik melalui perspektif nilai-nilai Islam.

Advertisements

Teks Asal dan Problematikanya

Penulis sekiranya dapat mendasarkan fenomena frasa tersebut pada QS Ali Imron ayat ke-14 yang berbunyi:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ

Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Kesan pertama ketika membaca ayat tersebut adalah bahwa ada beberapa aspek yang menjadi cobaan manusia berupa kesenangan-kesenangan di dunia. Redaksi pada ayat tersebut dengan jelas ditujukan kepada laki-laki, dengan menyebutkan perempuan sebagai salah satu cobaan. Tentu ini dirasa timpang dan mendiskriminasi kaum perempuan yang dianggap menjadi momok masalah dalam hal meraih kebahagiaan akhirat.

Dalam penerjemahan awal, kita akan diarahkan pada pemaknaan bahwa perempuan sebagai orang ketiga dalam percakapan antara teks ayat tersebut dengan kaum laki-laki. Mudahnya, perempuan menjadi orang yang ghaib dan sedang diperbincangkan. Pemaknaan ini tentu akan kacau apabila ada pihak yang menuntut pemaknaan redaksi لِلنَّاسِ pada awal dari ayat tersebut, dengan melakukan korelasi terhadap otoritas al-Quran sebagai pedoman yang universal.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan