Mengonsumsi Konotasi, Mengonsumsi Kepalsuan

3,075 kali dibaca

Menjengang Lebaran kemarin, dunia perbiskuitan kita terguncang dengan munculnya salah satu varian produk biskuit dengan harga selangit. Biskuit Oreo yang bekerja sama dengan salah satu produk fashion asal negeri Paman Sam, Supreme, mengelurakan Produk Oreo seharga Rp 500 ribu untuk sebungkus yang berisi tiga keping biskuit! Bahkan, yang lebih gila, sebagaimana dilansir Kompas, satu bungkus Oreo Supreme sempat dibandrol hingga 18.000 dollar AS atau setara Rp 269 juta di situs jual beli online ebay! Edan kan!?

Sebenarnya tidak ada faktor tangible yang layak membuat Oreo ini berharga sebegitu mahalnya. Dari segi packaging, ataupun rasa, sebagaimana review yang dilakukan oleh beberapa youtuber, misalnya, Oreo Superme ini tidak begitu berbeda dengan Oreo jenis lainnya. Bedanya hanya tulisan Supreme dan warna merah mencolok dari produk ini, yang sebenarnya tidak spesial-spesial amat. Namun, di tengah ketidakspesialan tersebut, Oreo ini tetap saja laku di pasaran! Mengapa?

Advertisements

Hal ini melemparkan ingatan saya pada kuliah Teori Sastra beberapa waktu lalu. Dalam kuliah tersebut, terminologi “Mengonsumsi Konotasi” muncul. Ungkapan ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana manusia modern sering kali terjebak dalam paradigma konotasi, dengan memaksakan sesuatu pada diri mereka agar seolah-olah menjadi bagian dari sesuatu yang diada-adakan tersebut. Hehe, Mbulet?

Baik agar lebih gampang, sebelum mengupas tentang “Mengonsumsi Konotasi”, mari kita pahami dulu apa itu konotasi. Konotasi lahir dari rahim semiotika. Singkatnya, ada dua cara untuk memaknai sesuatu, yaitu pemaknaan denotasi dan pemaknaan konotasi. Denotasi merupakan pemaknaan “lugu” yang mengacu pada deskripsi literal atau kamus. Pemaknaan ini juga didasarkan pada tangkapan panca indera. Contohnya, kata “merah”.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan