Mengenal Kiai Bergelar Pahlawan Nasional (1): KH Masjkur

1,510 kali dibaca

Nahdatul Ulama (NU), sebagai salah satu organisasi yang ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), dengan banyaknya tokoh yang andil di dalamnya, sudah barang pasti mendapatkan penghargaan dan penghormatan, termasuk penganugerahan gelar pahlawan nasional.

Masyhur di seluruh warga nahdiyin, banyak tokoh kiai NU yang mendapatkan penganugerahan gelar pahlawan nasional. Nama-nama tokoh kiai NU tersebut yang masyhur kita ketahui adalah: Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KHR As’ad Syamsul Arifin, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan KH Abdul Wahid Hasyim. Akan tetapi, nama-nama tokoh tersebut hanyalah sebagian dari kiai NU yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Advertisements

Nama-nama tokoh nahdliyin lainnya yang mendapatkan gelar pahlawan, barangkali sudah asing, atau bahkan terlupakan dalam benak kita. Oleh karenya, penulis menganggap tema ini penting dipublikasikan lagi, agar warga nahdliyin tetap mengingat perjuangan para tokoh-tokoh kiainya yang sampai mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Salah satu dari sekian nama tersebut adalah Kiai Masjkur, tokoh kiai NU asal Malang, Jawa Timur.

Biografi Kiai Masjkur

KH Masjkur lahir pada 30 Desember 1899 M di Singosari, Malang, Jawa Timur. Beliau lahir dalam keluarga yang taat beragama. Dari sisi nasab, KH Masjkur memang keturunan ulama yang zuhud, yakni Kiai Rohim, Singosari (dari jalur ibu). Pada usia 9 tahun, beliau bersama kedua orang tuanya berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji.

Setelah kembali dari tanah suci, KH Masjkur memulai menimba ilmu di pelbagai pondok pesantren. Mondoknya pun terbilang disiplin, dengan memulai dari belajar ilmu dasar hingga induk.

Mulanya, beliau mondok di Pondok Pesantren Bungkuk (Miftahul Huda), Singosari, di bawah asuhan Kiai Thahir. Selanjutnya, beliau mondok di Pondok Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo, mendalami ilmu alat (nahu dan saraf).

Selepas dari Pondok Pesantren Sono, beliau bergeser ke Panji, Sidoarjo, tepatnya mondok di Pondok Pesantren Siwalan, dengan fokus mendalami fikih. Dari Pondok Sono, KH Masjkur melanjutkan mondok ke Tebuireng, di bawah asuhan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, dengan fokus mendalami hadis dan tafsir.

Setelah khatam mengaji tafsir, beliau bertabarrukan ngaji qira’at kepada Syaikhona Kholil, di Bangkalan. Setelah bertabarrukan, beliau melanjutkan mondoknya di Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, Jawa Tengah.

Tatkala mondok di Pesantren Jamsaren, KH Masjkur sedang dalam masa mulai kritisnya (menginjak dewasa), dalam memaknai fenomena beragama dan berbangsa. Hal tersebut juga dipengaruhi eksistensi kolonial dengan pengaruh penjajahanya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Secara khusus, beliau menyadari bahwa umat Islam tertinggal zaman. Di mana banyak dari kalangan santri sendiri yang masih buta huruf, tidak bisa membaca huruf latin, asing dengan pengetahuan umum. Padahal, hal tersebut bagi KH Masjkur dipahami sebagai nilai peradaban kehidupan, termasuk yang dapat menyongsong dan mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kesadaran ini mendorong beliau dan beberapa kawan santri yang sepemikiran untuk belajar membaca dan menulis huruf latin hingga kemampuannya dinilai cukup. Singkatnya, setelah dari Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, beliau mengakhiri mondoknya di Pondok Pesantren Kresek, Garut, Jawa Barat.

Pada tahun 1923, beliau kembali ke Singosari dan memulai berdakwah dengan mendirikan madrasah yang diberi nama Misbachul Wathan (artinya: pelita tanah air). Madrasah Misbachul Wathan acap kali mendapat gangguan dari pihak kolonial Belanda. Hal ini lumrah mengingat pihak kolonial tidak ingin bangsa Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak, apalagi dengan pengetahuan-pengetahuan umum.

Akan tetapi, KH Masjkur tetap kokoh pada jalan dakwahnya, meskipun santri yang belajar hanya sedikit. Yang terpenting bagi KH Masjkur adalah proses perjuangan menghapuskan kebodohan akan ilmu pengetahuan.

Menginjak usia 27 tahun, KH Masjkur menikah dengan cucu kiainya sendiri, yakni cucu Kiai Thahir (Bungkuk). Akan tetapi, setelah 16 tahun mengarungi kehidupan berumah tangga, istri beliau meninggal (tidak memiliki keturunan). Kemudian KH Masjkur menikahi adik istrinya (yang juga cucu Kiai Thahir) dan dikaruniai seorang putra darinya.

Karier dan Kontribusi

Ketika kembali dari pengembaraan mondoknya, KH Masjkur kembali ke Singosari dan mendirikan Madrasah Misbachul Wathan. Dalam perjalanannya, Madrasah Misbachul Wathan tidak begitu mulus. Kolonial Belanda seringkali “mengganggu’ prores pembelajaran santri. Hal ini menjadi sensitif bagi kolonial, dikarenakan metode pembelajaran di Misbachul Wathan mulai menyesuaikan dengan zaman.

Meskipun, KH Masjkur tetap gigih, beliau juga seorang manusia dan guru, hatinya tidak tega melihat para santri dan lingkunganya terus-menerus diusik oleh kolonial Belanda. Hal ini pun kemudian diadukan beliau kepada KH Wahab Hasbullah di Surabaya, tepatnya di kantor Nahdatul Wathan.
Kiai Wahab Hasbullah menyarankan agarKiai Masjkur mengubah nama Madrasah Misbachul Wathan menjadi Madrasah Nahdatul Wathan, sekaligus menjadi cabang Malang dari Nahdatul Wathan yang berada di Surabaya.

Saran dari Kiai Wahab Hasbullah ini dilaksanakan oleh beliau, dan resmilah madrasahnya menjadi cabang Malang dari Nahdatul Wathan, Surabaya. Hal ini ternyata ampuh, kolonial Belanda tidak lagi menggangu, bahkan Madrasah Nahdatul Wathan Malang semakin berkembang pesat dengan bertambamnya santri. Ketika Nahdatul Wathan bereformasi menjadi Nahdatul Ulama, KH Masjkur ditunjuk menjadi Ketua Cabang Nahdlatul Ulama Malang.

Berkat keaktifan dan kontribusinya pada cabang Nahdlatul Ulama Malang, Kiai Masjkur ditunjuk sebagai sebagai salah seorang Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang berkantor di Surabaya, tepatnya pada tahun 1938.

Tidak hanya pada bidang organisasi, KH Masjkur juuga aktif dalam kemiliteran. Pada awal tahun 1945 bersama senior lainya, Kiai Masjkur bergabung ke dalam Laskar Hizbullah dan mendapat pelatihan militer di Cisarua, Bogor. Kiai Masjkur juga diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), bersama senior kawakan lainya, seperti KH Wahid Hasyim, Agus Salim, dan lainnya.

Belakangan, Kiai Masjkur mulai terjun dalam pusaran politik nasional. Hal ini dikarenakan Laskar Hizbullah (pasukan yang terdiri dari kalangan muslim) diakomodasi oleh Partai Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam pada masa tersebut.

Hal tersebut menjadikan Laskar Hizbullah semakin terstruktur dan masif. Adapun, Kiai Masjkur ditunjuk sebagai pimpinannya. Dan kariernya terus mencuat tatkala diitunjuk mewakili Partai Masyumi sebagai anggota Dewan Pertahanan Negara yang dibentuk oleh Presiden Soekarno.

Dewan Pertahanan Negara sendiri adalah komando darurat dengan fungsi pemegang kekuasaan saat kondisi darurat, yang diketuai oleh Perdana Menteri. Partai Masyumi sendiri adalah satu dari tiga wakil rakyat di Dewan Pertahanan Negara (dua partai lainya: Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Pada tahun 1947, saat masih aktif menjabat sebagai anggota Dewan Pertahanan Negara, Kiai Masjkur dipanggil oleh Presiden Soekarno ke Yogyakarta. Saat itu, Kiai Masjkur diperintahkan oleh Presiden untuk menjadi Menteri Agama (pergantian; reshuffle) dalam kabinet Amir Syariffudin ke-2 dan mulai bertugas pada 11 November 1947.

Pada Agresi Militer Belanda II, tepatnya pada 19 Desember 1948, banyak tokoh di pemerintahan yang ditangkap, namun Kiai Masjkur berhasil meloloskan diri melalui pintu belakang rumahnya dengan membawa keluarganya.

Dari momentum ini, beliau mulai bergerilya. Beliau bergeriliya ke timur, tepatnya ke Ponorogo. Dari Ponorogo, beliau mulai mengumpulkan pasukan, dari Ponorogo melanjutkan ke Trenggalek dan bertemu dengan Harsono Cokroaminoto (penasihat Panglima Besar Jenderal Sudirman) dan bergabunglah pasukan Kiai Masjkur (Menteri Agama) dan pasukan Jenderal Sudirman. Dalam rentang waktu ini, Kiai Masjkur masih menjabat sebagai Menteri Agama sekaligus memimpin pasukanya. Hal ini beliau lakukan sampai datang peralihan kebinet.

Setelah purna tugas menjadi Menteri Agama, Kiai Masjkur diberi tugas oleh KH Wahid Hasyim (Menteri Agama kabinet baru) untuk melaksanakan kunjungan kerja ke berbagai daerah guna sosialiasai dan pembentukan kantor agama. Sejak saat itu pula beliau menjadi pengurus di PBNU. Hingga pada tahun 1953, beliau kembali ditunjuk untuk menempati posisi Menteri Agama dalam pergantian kabinet Perdana Menteri Natsir kepada kebinet Perdana Menteri Ali Sastroamidjodjo. Jabatan Menteri Agama ini beliau emban sampai tahun 1955. Salah satu kontribusinya yang signifikan ketika menjabat adalah kebijakan pelaksanaan pengajaran agama pada sekolah-sekolah umum.

Pasca kabinet Ali Sastroamidjodjo I jatuh, secara otomatis Kiai Masjkur sudah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama. Namun, ketika pembentukan kabinet Ali Sastroamidjodjo II, beliau ditunjuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (Dewan Konstituante) dengan tugas Dewan Konstituante membentuk undang-undang baru guna menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950).

Ketika masa Orde Baru, beliau aktif di DPR sebagai ketua faksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Selain itu, beliau juga menjabat Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) yang diembanya hingga akhir hayat. Beliau wafat pada 18 Desember 1992.

Pada Oktober 2017, beliau diusulkan sebagai pahlawan nasional yang diinisiai oleh PCNU Kota Malang dan Yayasan Sabilillah Malang. Pada tahun 2018 dibentuk Tim Pengusul Gelar Pahlawan yang difasilitasi oleh Nahdlatul Ulama, Pemprov Jawa Timur dan Pemkot Malang. Tim Pengusul Gelar Pahlawan dibantu oleh para akademisi dan peneliti dari enam Perguruan Tinggi di Malang, yakni: Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Univeritas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Islam Malang, Universitas Merdeka Malang, dan Universitas Raden Rahmat Malang.

Selama dua tahun penelitian dijalankan, segara dokumen telah terpenuhi, akhirnya pada 8 November 2019, negara melalui Presiden Joko Widodo memberikan anugerah gelar pahlawan kepada KH Masjkur. Hal ini lumrah, bahkan menjadi kewajiban, mengingat kontribusi Kiai Masjkur dalam bidang dakwah, militer (berperang), dan politik sudah terpampang jelas. Seyogianya keteladanan beliau selalu menjadi motivasi dan semangat bagi kita semua, khususnya kaum santri dan warga nahdliyin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan