Menelaah Gagasan Kerukunan Umat KH Ali Mustafa Yaqub

1,030 kali dibaca

Salah satu tema diskursus yang tidak pernah absen di bangsa ini adalah perihal kerukunan umat beragama. Sebab, bangsa ini diisi oleh berbagai entitas agama, suku, dan budaya yang menjadikanya sebagai power dan spektrum kehidupan tersendiri, khususnya yang tidak dapat dijumpai pada bangsa-bangsa lain. Tak janggal, segala upaya dan gerak di bangsa ini harus memiliki proporsi pada ranah tersebut. Sehingga perihal kerukunan umat bukanlah tema asing bagi bangsa Indonesia ini.

Seiring dengan ragam tantangan dan perubahan kondisi, diskursus kerukunan umat pun berjalan mengiringi. Hal ini menjadi salah satu faktor dari keberlanjutan diskurusus ini. Namun harus ditegaskan, diskursus kerukunan umat ini tidak hanya berkutat pada umat Muslim saja, juga mencakup apa dan bagaimana hubungan dengan umat dari agama lain.

Advertisements

Dalam konteks keindonesiaan, Islam sebagai agama mayoritas selalu menjadi garda terdepan dalam merangkul dan menyemai kerukunan umat. Berbagai kontribusi dan pikiran digalakkan guna mencapai hal tersebut.

Menurut hemat penulis, salah satu tokoh yang gagasannya mengenai kerukunan umat selalu ditadaburi adalah almarhum KH Ali Mustafa Yaqub. Bukan tanpa dasar, karena apa yang diusung dan ditawarkan KH Ali Mustafa Yaqub sangat menjawab, juga mencerahkan perihal kerukunan umat di Indonesia ini.

Setidaknya ada dua hal yang menjadikannya sebagai tawaran gagasan yang mencerahkan. Pertama, almarhum Ali Mustafa Yaqub adalah tokoh yang menguasai ilmu ushuludin secara holistik dan moderat, khususnya dalam bidang hadis dan ilmu hadis. Hal ini menjadikanya memiliki pemahaman yang mendalam perihal sosial-budaya keislaman.

Dalam beberapa karya tulis dan orasi ilmiahnya, almarhum memiliki atensi dan intensi tersendiri dalam berbicara perihal kerukunan umat. Alhasil, gagasan-gasannya mengenai toleransi dan kerukunan umat banyak dikaji di berbagai ruang, baik di pondok pesantren maupun secara khusus di ruang-ruang diskusi akademik di lingkungan perguruan tinggi.

Kedua, apa yang ditawarkan oleh almarhum Ali Mustafa Yaqub adalah “produk lokal”. Dalam artian, ijtihad gagasan tersebut lahir dari kontekstualisasi keadaan dan fenomena umat di Indonesia. Sehingga pengejewantahannya memiliki khazanah khas Islam Indonesia.

Penulis juga tidak menafikkan, bahwa ada banyak sekali tokoh-tokoh yang memberikan penawaran gagasan perihal kerukunan umat. Tetapi dalam hemat penulis, apa yang ditawarkan oleh almarhum Ali Mustafa Yaqub adalah paket pas, yang mana memiliki pengejawantahan dan kritik mendalam mengeni kerukunan umat di Indonesia

KH Ali Mustafa Yaqub adalah salah seorang ahli hadis kenamaan Indonesia. Ia dikenal sebagai ulama yang sangat berkredibilitas dalam keilmuannya. Ia menyelesaikan pendidikan strata satu dan dua di Saudi Arabia, dan strata tiga di Universitas Nizamia, India. Meskipun lulusan Timur Tengah, ia tidaklah memiliki paham yang jumud pada ranah tekstual, khususnya hadis. Sehingga penyikapannya pada fenomena-fenomena keagamaan sangatlah tergolong moderat dan pas dengan keindonesiaan kita.

Berangkat dari penguasaan hadis dan hukum syariah yang holistik, lahirlah karya-karya dan juga tawaran gagasan yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Salah satu perhatian besarnya pada kerukunan umat. Dalam konteks ini, KH Ali Mustafa Yaqub memaknai Indonesia ini sebagai rumah bersama segala umat, yang tentunya harus dijaga dan diberikan ruang bersama yang sama.

Hal ini juga tercermin dalam penyampaian dan kajian-kajian hadisnya yang komprehensif. Yakni memaknai dan membaca teks keagamaan dengan persepsi juga proporsi yang ideal bagi kepentingan dan kondisi umat. Khususnya dalam menelaah dan mengurai permasalahan yang dihadapi oleh umat.

Jika ditelaah, gagasan-gagasan tentang kerukunan umat yang ditawarkannya tidaklah dimaknai dengan ruang sempit. Melainkan lebih terbuka pada pengakuan esensi kehadiran dari entitas umat liyan.

Hal paling mendasar dari gagasannya perihal kerukunan umat adalah bahwa agama Islam tidak pernah menolak dan memusuhi entitas umat liyan. Maksud dari hal tersebut adalah agama yang disebutkan dalam Al-Quran dan yang diakui legal formalnya oleh pemerintah. (Agama yang juga disebut dalam Al-Quran Yahudi dan Nasrani. Yang secara legal formal diakui negara adalah Budha, Hindu, KhongHuchu,dan lain sebagainya).

KH Ali Mustafa Yaqub juga sangat proposional dalam memetakan dalil-dalil keagamaan perihal isu sosial kemasyarakatan. Ciri khasnya adalah memetakan dengan tegas dan penuh tanggung jawab: bahwa tidak boleh ada percampuran dalil dalam memaknai sebuah fenomena umat.

Secara spesifik dalam bukunya yang berjudul Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Quran dan Hadis ditegaskan, bahwa dalil perihal peperangan jangan dicampurkan atau ditindihkan pada rana damai, khususnya dalam konteks keindonesiaan.

Dalam beberapa gagasanya yang dipublikasikan di beberapa kanal media, KH Ali Mustafa Yaqub  sering menjelaskan gagasannya dengan menggunakan contoh perang Badar dan perang Khaibar. Perang Badar adalah perang yang terjadi pada tahun kedua Hijriah. Saat itu, umat Muslim di Madinah diserang oleh kaum musryik Makkah. Sehingga peperangan tersebut adalah ikhtiar untuk melindungi agama Allah.

Begitu pula dengan perang Khaibar yang terjadi pada tahun ketujuh Hijriah karena sebagian besar umat Yahudi secara sepihak membatalkan perjanjian dengan umat Muslim. Hal ini ditegaskan oleh almarhum sebagai ranah peperangan (fight) yang sudah sangat berbeda dengan suasana damai. Lantas bagaimana perihal muamalah?

Pada ranah muamalah, KH Ali Mustafa Yaqub juga menawarkan gagasan senada. Ia dengan penuh kecakapan selalu menyuarakan bagaimana penerapan nilai-nilai humanisme Nabi terhadap umat liyan. Baik dalam perihal relasi sosial, perdagangan, maupun konsolidasai dakwah. Masih dalam buku yang sama, ia mengutip hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Nabi juga hidup adem ayem bersama umat liyan. Contohnya adalah bahwa justru yang memberikan insight akan ciri-ciri kenabian pada Nabi Muhammad adalah Waraqah bin Naufal, pendeta Nasrani yang tak lain adalah sepupu istri Nabi, Khadijah.

Contoh kedua adalah umat Nasrani, tepatnya penduduk Habsyah yang beragama Nasrani, adalah yang pertama kali mengulurkan tangan memberi suaka kepada umat muslim generasi awal yang ditekan masyarakat kafir Quraisy di masa itu.

Contoh terakhir adalah ketika sudah tinggal dengan aman di Madinah, Nabi kedatangan utusan penganut Nasrani dari wilayah Najran, wilayah yang berdekatan dengan Yaman. Saat mereka datang, lalu mereka menyatakan ingin melaksanakan kebaktian, justru Nabi kemudian mengizinkan dan setelahnya mereka berdiskusi soal ketuhanan. Setelah diskusi tersebut, mereka kembali dengan tidak ada seorang pun yang kemudian langsung menganut agama Islam. Baru kemudian beberapa orang menemui Nabi untuk menyatakan masuk Islam.

Contoh-contoh tersebut memberikan gambaran yang gamblang bagaimana kerukunan umat dalam tinjauan Islam. Namun, diskursus kerukunan umat memantik soal baru ketika belakangan ini umat Muslim dipandang tidak memberi ruang kepada umat liyan.

Persoalan ini sudah muncul beberapa tahun lalu, mengingat pasca-reformasi, rajut kerukunan umat di Indonesia terus mengalami dinamika yang tidak mudah. Tetapi sekali lagi, KH Ali Mustafa Yaqub memberikan jawaban yang sangat mencengangkan, juga mencerahkan. Ia menjawab dengan konsep “kritik mayoritariasme”, yakni kritik tajam yang diarahkan pada keangkuhan dan kesembronoan umat Muslim yang lalai juga acuh pada entitas umat liyan.

Dalam pada itu, KH Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa Nabi juga saling bahu membahu dan menolong umat liyan pada masa hidupnya. Tentu hal ini digarisbawahi tidak pada ranah akidah-keyakinan dalam beragama. Cukup pada ranah mualamah sehari-hari.

Menurut penulis, konsep “kritik mayoriatariasme” ini sangat relevan dengan kerukunan umat di Indonesia hari ini. Bahwa kita merasa yang paling besar, benar, dan berkuasa, namun sejatinya karena keangkuhan kita (baca: oknum di dalam umat), malah menindih dan melupakan umat liyan yang juga aktif membangun juga berkontribusi bagi Indonesia ini.

Maka, sejatinya, gagasan kerukunan umat yang ditawarkan KH Ali Mustafa Yaqub dapat menjawab persoalan dan tantangan kerukunan umat hari ini. Karena nyatanya, gagasan yang ditawarkan masih relevan dengan hiruk pikuk umat hari ini. Di mana kita selalu terbelenggu jika memaknai umat hanya dengan entitas mayoritas yang ada.

Alhasil, kita secara langsung dan tidak langsung melupakan entitas umat liyan yang juga berdiri sebagai sesama manusia di tanah air Indonesia ini. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan