Mencari Iman yang Hilang

1,255 kali dibaca

Hingga bertahun-tahun kemudian, tak pernah ada yang tahu sebab musabab Iman pergi, dan ke mana ia menghilang selama ini —dan tak pernah kembali.

Hari itu waktu telah memasuki surup. Ngatinah duduk tepekur di emperan rumah. Dan hatinya mulai cemas ketika azan sayup-sayup terdengar dari masjid seberang jalan, anak yang paling disayang tak kunjung pulang.

Advertisements

Iman, anak bungsunya itu, belum lama mentas dari pondok. Sepulang dari pesantren Iman tumbuh sebagai remaja yang tertib dan rajin beribadah. Juga sangat takzim kepada kedua orangtuanya, dan menghormati kakak-kakaknya. Jika ia keluar rumah untuk suatu keperluan, sesaat sebelum suara azan berkumandang, pasti ia telah kembali dan segera ke masjid seberang jalan untuk salat berjamaah.

Karena itulah, hari itu, ketika surup tiba, Ngatinah menjadi gelisah. Iman tak kunjung datang. Sampai gelap bergelayut perlahan, tubuh ringkih Ngatinah masih terduduk seperti patung di atas bangku panjang di emperan rumahnya.

“Bukne, cepat ke padasan, waktu maghrib hampir habis,” suara suaminya dari balik pintu membuat Ngatinah menarik napas panjang. Berjalan tertatih-tatih, Ngatinah menyisir teritisan rumah, dan menghilang ke dalam jeding yang letaknya di belakang rumah.

Sudah setahun terakhir Ngatinah tinggal hanya berdua dengan suami, Wagiran, sejak anaknya yang pertama, kemudian disusul anaknya yang kedua, menikah dan tinggal di rumah masing-masing sebagai keluarga-keluarga baru. Baru setelah Iman mentas dari pondok, belum lama, rumah besar berdinding papan kayu itu bertambah lagi penghuninya.

Tentu, kehadiran Iman di rumah itu membuat Ngatinah bungah. Kewajiban untuk memondokkan anak kesayangannya telah ia tunaikan. Mimpi untuk menjadikan Iman sebagai anak yang saleh mulai menampakkan tanda-tanda bakal mewujud. Sejauh penglihatan Ngatinah, juga Wagiran, Iman tergolong anak yang cerdas. Paling cerdas di antara saudara-saudaranya yang lain.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan