Melawan Ekstremisme Islam di Media Sosial

908 kali dibaca

Beberapa pekan terakhir, umat muslim di Indonesia selalu dibuat gaduh dengan peristiwa maupun narasi yang intoleran. Misalnya, narasi penodaan agama oleh seorang ustaz, yang mengatakan syariat agama Islam hanya bentuk pembodohan dari kitab kuning. Lalu, ada peristiwa persekui minoritas: Jamaah Ahmadiyah di Sintang. Setelah peristiwa persekusi mereda, muncul narasi sepihak dari seorang ustaz yang mengharamkan berkunjung ke Candi Borobudur karena dianggap mengakui keyakinan mereka, dalam hal ini kaitanya umat Budha. Bak ombak pasang, kemarin, ketika viral video para santri penghafal Al-Quran menutup telinga karena mendengar musik, narasi intoleran yang naik kembali membikin gaduh.

Jika kita amati seksama, hampir segala narasi intoleran tersebut bersumber dari paham Islam ekstremis. Lantas narasi-narasi intoleran tersebut viral di media sosial yang berujung digoreng dan dimanfaatkan sebagian pihak. Hal ini menjadi lebih parah, karena mereka yang berpaham ekstremis dengan semangat yang meluap-luap atas obsesi “memurnikan syariat” itu seringkali mencederai rahmat kebersamaan dan keIslaman itu sendiri.

Advertisements

Di masjid-masjid mereka, dalam acara kelompoknya, semua hal dihukumi dengan sepihak. Apalagi kalau tidak berkutat pada lintasan fikih yang stagnan: halal-haram. Dalihnya tentu menyalahi atau tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah, katanya. Tenggorokan mereka lantang menyuarakan jargon kembali ke Al-Quran dan sunnah yang suci, tetapi, nyatanya umat dan entitas bangsa ini melihat mereka sebagai salah satu biang kerok gesekan tensi kerukunan beragama, berbangsa, dan bernegara.

Islam Moderat Vs Islam Ekstremis

Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Wali Songo hari ini menjadi pemahaman Islam yang terus terawat dengan baik. Termasuk, paham moderat yang diajarkan oleh para Wali Songo. Bagaimana ber-Islam secara baik dan menghormati siapa pun yang ada di lingkungan kita, sekalipun berbeda paham.

Paham-paham Islam moderat tersebut hari ini sebagian besar direpresentasikan oleh ulama-ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan kita tahu akan fakta ini. Ulama-ulama yang menjadi obor di tengah kegelapan dan kebingungan umat. Ulama-ulama yang berkontribusi dengan sepenuh hati untuk membimbing, menjaga, dan merawat umat Islam di Indonesia ini, yang berhilir pada terbentuknya kontruksi muslim moderat.

Akan tetapi, apakah hal itu berlangsung dengan gampang? Tidak. Dalam dua dekade terakhir, Islam di Indonesia sudah mengalami tantangan yang kompleks. Bahkan, bisa dibilang sejak munculnya pemberontakan DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam di Tanah Air yang sudah merdeka ini. Singkatnya, paham ekstremis mulai berkembang biak di antara celah-celah kerukunan beragama dan bernegara. Paham ekstremis ini datang dari dalam umat sendiri dan dari luar, baik mereka yang salah belajar dari luar negeri atau mereka yang menyusup masuk untuk menyuntikkan doktrin ekstremis kepada umat yang awam.

Dari paparan tersebut, setidaknya terbentuk sebuah gambaran: yang moderat terus membimbing dan memberikan pencerahan bagi umat dalam berbagai dimensi dan yang berpaham ekstremis terus berupaya menyuntikkan doktrin ekstrimisnya, di mana pun dan kapan pun. Abdillah Toha, seorang pengamat sosial-politik kawakan, menjelaskan, setidaknya ada tiga hal mendasar perbedaan antara muslim moderat dan muslim ekstrimis.

Pertama, muslim moderat akan selalu sibuk mengurusi imanya sendiri. Sedangkan, muslim yang berpaham ekstremis akan sibuk mengurusi iman orang lain. Menilai-nilai dan menimbang-nimbang keimanan orang lain, khsusunya yang tidak satu circle dengan mereka.

Kedua, muslim yang moderat cenderung berserah diri pada Allah dan tidak memanfaatkan ketuhanannya sebagai dalih pembenaran. Adapun, muslim yang berpaham ekstremis cenderung fanatik terhadap aliran atau mazhabnya secara berlebihan.

Ketiga, muslim yang moderat berusaha selalu muhasabah diri agar mendapat keridaan Allah dan masuk surga. Namun, muslim yang berpaham ekstremis selalu berupaya memastikan muslim lain masuk surga, dan hal ini yang terbilang kebablasan, seolah-olah mereka adalah mandor surga.

Dari sisi implementasi Al-Quran dan sunnah, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, muslim yang berpaham ekstremis berkutat pada tafsir dan pandangan yang sempit, yang padahal, Al-Quran dan sunnah itu begitu luas. Lebih khusus dalam ranah fikih, sebagai ujung tombak pendalilan. Pandagan dan fatwa sepihaknya seringkali sangat ekstrem, tanpa mengikutsertakan akal dan maqasid syariah di dalamnya. Sehingga produk fikihnya stagnan pada: halal-haram, salah-benar, bahkan zindiq-bid’ah. Tentu ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan muslim di Indonesia. Adapun faktanya seperti itu, umat menjadi gaduh, tensi-tensi toleransi dan kerukunan menjadi panas, dan memperkeruh situasi kondisi yang ada.

Sedangkan, muslim yang moderat, segala pandangan dan fatwanya akan holistik. Dalam artian berorientasi pada kemaslahatan umat tanpa mencederai tubuh nonmuslim. Tinjauan fikihnya akan lebih luas dan tetap disiplin. Juga, tidak ada tekanan maupun dorongan yang kebablasan pada umat, kaitannya dalam persoalan hukum Islam. Bahkan, fikih-fikih siyasah (politik), kebangsaan, dan sejenisnya dapat dielaborasi dengan landasan kontruksi hukum Islam yang kuat. Sehingga, toleransi dan kerukunan dapat terwujud, yakni dalam hal beragama, berbangsa, dan bernegara. Lebih khusus lagi, keberlangsungan umat muslim sendiri di Indonesia.

Melawan di Media Sosial

Dari pemaparan tersebut, setidaknya antara yang moderat dan ekstrem sama-sama melakukan kegiatan syiar agama. Keduanya saling menebarkan ajaran Islam sesuai apa yang mereka pahami . Pendekatanya dalam syiarnya pun beragam. Kita pahami, bahwa seringkali muslim yang berpaham ekstremis lebih ekslusif dan getol di media sosial.

Namun, ada yang cukup menggelikan, karena konteks pendekatan yang dilakukan oleh muslim yang berpaham ekstremis hari ini sudah berkamuflase. Di mana, yang pada awalnya memiliki jarak yang jauh dengan budaya modern dan humanisme, sekarang sudah mulai menjawil ranah tersebut. Mereka paham, karena cara tersebut dapat menggaet banyak perhatian dan simpatisan umat yang awam.

Namun begitu, tidak ada perubahan, basis dan pendekatan utama mereka adalah pada ranah media sosial (IPTEK). Yang jika diejawantahkan, kamuflase pada pendekatan budaya fokus menggaet umat yang awam: orang-orang dewasa, dan pendeketan media sosial untuk menggaet kalangan milenial, yang acap kali mempelajari agama melalui media sosial; seperti Google, YouTube, Instagram, dan sejenisnya.

Pendekatan melalui media sosial memang sangat cepat dalam menggaet perhatian dan simpatisan, mengingat ketergantungan kalangan milenial sangat tinggi, dan yang hari ini, orang-orang dewasa mulai terjebak pada ranah tersebut. Singkatnya, kedua pendekatan ini mulai dikolaborasikan: pendekatan budaya melalui ranah media sosial. Hasilnya? Banyak sekali yang terperangkap dan merasa nyaman. Kalangan milenial dan orang-orang dewasa, menganggap muslim yang berpaham esktremis ini sebagai kelompok yang tegas, kaitannya dalam fatwa dan penyikapan isu-isu. Padahal tidak. Sejatinya itu adalah bentuk kesembronoan.

Lantas, bagaimana cara jitu untuk melawanya? Potensi terbesar yang dapat dimaksimalkan adalah dengan meningkatkan kuantitas juga kualitas paham Islam moderat melalui ranah media sosial. Jika mereka bermain di lapangan informasi dan teknologi, ya kita harus masuk di lapangan yang sama untuk melawannya. Mengingat dari rangkaian peristiwa yang sudah disinggung, semuanya berangkat dari media sosial (digital). Dalam artian, orang-orang yang tersuntik doktrin ekstremis adalah orang-orang yang getol belajar agama memalui media sosial.

Intelektual muda Nahdatul Ulama, yang juga pakar tafsir, Prof Nadisyah Hosen, pernah menyampaikan: fardhu kifayah untuk melawan gerakan ektremis-radikalisme yang memanfaatkan media sosial, termasuk siapa pun yang tidak mempunyai otoritas, namun, berbicara mengenai Islam. Jika kita tilik hari ini, rasanya sudah menjadi “fardhu ‘ain” bagi setiap muslim moderat yang memiliki kredibilitas.

Hal ini berangkat dari kebobolan-kebobolan kita: ternyata masih banyak yang tersuntik doktrin ekstremis melalui media sosial. Artinya kalangan muslim moderat ini masih banyak sisi kelemahan. Sehingga dosis paham Islam moderat ini harus ditambah lagi di media sosial.

Setidakya, Kementrian Agama RI sudah mendeteksi celah dan kelemahan ini. Beberapa waktu lalu, melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, digelar sebuah workhshop untuk memaksimalkan peran platform-platform digital, organisasi, maupun lembaga penelitian Islam dalam menebarkan paham Islam moderat yang lebih masif lagi di masyarakat. Bahkan, secara khusus dalam basis layanan syariah, karena memang sebagai dosis penyaing juga benteng dari fatwa dan pandangan muslim ekstremis, yang seringkali sepihak dan sangat ekstrem. Oleh karenanya, pendekatan syiar Islam moderat melalui media sosial harus benar-benar dimaksimalkan agar tidak kebobolan untuk yang kesekian kalinya. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan