“Ngaji Bareng Mbah Ubaid: Suluk Senen Pahingan.”
Begitu headline yang tertera pada poster yang selalu dibagikan sebelum acara terselenggara. Suluk Senen Pahingan merupakan kegiatan rutin yang digelar Ahad Legi malam atau Senin Pahing. Berarti kurunnya 35 hari.

Walau dinamai “Ngaji” karena berlokasi di pondok pesantren, acara ini terkonsep dengan cemerlang. Karenanya, bukan hanya diminati oleh kalangan pesantren, tetapi juga sanggup memikat publik dengan ragam latar belakang seperti aktifis, politikus, jurnalis, mahasiswa, dan seniman.
Mbah Ubaid yang kerap dikenal oleh sebagian jamaah atau kolega-koleganya bernama asli Ubaidullah Shodaqoh. Beliau seorang kiai, pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Kelurahan Telogosari Wetan, Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Beliau selalu membersamai forum kajian Suluk Senen Pahingan tersebut.
Senen Pahingan selalu menghadirkan berbagai narasumber dengan latar belakang kompetensi yang beragam; tidak hanya membahas isu keagamaan (berhubungan kegiatan ini berlangsung di pondok pesantren), tetapi melingkupi sosial budaya, politik, kesenian, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.
Salah satu hasil dari Senen Pahingan ini adalah sebuah buku yang berjudul Petani Kehilangan Lahan. Buku ini berisi 17 tulisan; 11 tulisan respons Mbah Ubaid berkaitan dengan topik yang dilontarkan narasumber. Sedangkan, enam tulisan lainnya berasal dari tausiyah Mbah Ubaid yang dikemukakan waktu ngaji rutinan.
Yang menjadi pilihan dari judul buku dipilih dari salah satu tulisan di dalam buku ini, yaitu “Petani kehilangan lahan”. Memang, selain merupakan tokoh agama dan tokoh sentris pada jajaran struktural Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah, Mbah Ubaid tidak jauh dari asal yang membentuknya hingga menjadikannya sekarang. Dalam sebuah wawancara dengan NU Online, Mbah Ubaid mengatakan, “Saya lahir dari guru madrasah diniyah dan petani di wilayah Demak yang tahun 76 dimasukkan wilayah Semarang.” Sabtu, (9/3/2024).
Jelas bahwa Mbah Ubaid juga merupakan keturunan seorang petani dari sosok ibunya. Barangkali karena itu, kehidupan seputar petani tak lepas dari pengamatan Mbah Ubaid. Bagaimana pun, sebagai seorang tokoh, Mbah Ubaid mampu merasakan dan mendekatkan dirinya pada kepayahan dan kesusahan umat.
Hal tersebut terasa dari kalimat yang tertulis dalam buku Petani Kehilangan Lahan ini: “Pertanian bukan sekadar urusan menanam dan penen, tetapi juga ibadah yang membawa berkah bagi kehidupan. Ketika tanah digarap dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, hasilnya bukan hanya pangan yang sehat, tetapi juga keberlanjutan untuk generasi mendatang.” (hlm 25)
Kutipan tersebut merupakan penyadaran penting bagi generasi sekarang untuk mengetahui bahwa investasi bukan hanya dalam bentuk materiil. Tetapi, bisa juga dalam bentuk kebijakan kita terhadap alam dan warisan kelestarian lingkungan yang diturunkan kepada anak cucu dan generasi setelahnya. Dan, itulah bentuk dari sebenar-benarnya keberkahan karena memberikan kemanfaatan panjang dan keuntungannya dapat dirasakan oleh banyak pihak.
Menimbang-nimbang bagaimana perlakuan manusia dan kebijakan tentang konservasi lingkungan dan alam terus-menerus digerus oleh nafsu rakus manusia hingga hari ini. Maka, pentingnya mulai sekarang untuk memperhatikan, mempedulikan, dan bertanggung jawab terhadap alam yang kita keruk demi kepuasan apalagi hanya untuk keuntungan semata.
Karena sebab itulah Mbah Ubaid dalam buku ini juga turut menyuarakan keresahan masyarakat kecil –masyarakat yang dalam konstelasi politik hanya dibutuhkan lima tahun sekali dan aspirasinya sering kali diabaikan.
Dalam konteks yang lebih luas, seorang yang disebut ulama bukanlah seseorang yang hanya cerdas, pandai, dan piawai dalam pengetahuan agamanya. Tetapi, juga yang menjalankan moral, spiritualitas, dan menghubungkan nilai-nilai kemasyarakatan/lokalitas dengan basis keilmuan keagamaan yang dimiliki.
Maka, seorang Mbah Ubaid termasuk sosok yang pantas menjadi teladan bagi umat dan masyarakat, seperti yang dituliskannya: “Ilmu agama bukan sekedar teori, tetapi jalan hidup yang membentuk keyakinan, perilaku dan akhlak” (hlm 45)
Tidak hanya itu. Tulisan-tulisannya di dalam buku ini juga membahas persoalan keagamaan masyarakat yang kerap menggunakan pemikiran pendek, instan, dan pragmatis.
Pembahasan atau tema judul di buku ini beragam, namun dikumpulkan (diharapkan mampu memahaminya dengan mudah) menjadi satu isi buku yang saling memperindah dan menyelesaikan dinamika kehidupan bersama.
Dengan narasi sederhana dan ringan, tulisan di dalam buku ini dibuat seperti alih wahana penyampaian dari lewat suara ke bentuk tulisan –yang barangkali akan mudah kita pahami karena terus membacanya ulang– hingga dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti.
Data Buku:
Judul: Petani Kehilangan Lahan
Penulis: KH Ubaidullah Shodaqoh
Penerbit: Kasatmata Media Kita
Tahun Terbit: 2025
Tebal: 54 Halaman
ISBN: 978-623-10-8987-8