Mbah Komplang

1,031 kali dibaca

Sore itu senja merangkak pelan menuju peraduan. Ngajiman baru saja pulang dari kuburan selepas menggali kubur Mbah Subagio. Ia sedang duduk-duduk santai di teras rumahnya sambil merokok ketika seorang wanita paro baya menghampirinya.

“Buatkan liang kubur untuk suamiku, Pak, di Pemakaman Timur,” seru wanita itu pada Ngajiman.

Advertisements

“Siap!”

Wanita itu lalu menyodorkan sebuah amplop putih kepada Ngajiman.

Sebagai penggali kubur, sudah barang tentu Ngajiman bersedia melakukannya. Menggali kubur menurutnya adalah pekerjaan yang mudah. Dia pernah mengatakan itu pada istrinya, Marti’ah: “Tidak ada satupun mayat yang protes soal liang kubur. Bagaimanapun bentuk kuburnya, mereka yang mati akan diam saja,” kata Ngajiman suatu waktu pada istri ketika ditanya soal pekerjaan menggali kubur.

Beberapa saat kemudian, takmir masjid mengumumkan kabar kematian suami wanita tadi. Ternyata namanya Ngadari. Entah apa maknanya.

“Makan, Mas. Semuanya sudah matang,” kata Marti’ah.

“Menggali kubur dulu. Nanti aja makannya,” jawabnya.

Ngajiman lalu menghidupkan sepeda mator dan bergegas menuju Pemakaman Timur. Di setiap pemakaman di desanya, Ngajiman sudah mempersiapkan cangkul untuk digunakan menggali kubur. Cangkul-cangkul itu diletakkannya di sebelah keranda. Maka, jika akan menggali kubur, ia tak perlu susah-susah memanggul cangkul dari rumahnya ke pemakaman.

Setiba di Pemakaman Timur, ia mencari-cari tanah kosong untuk digali. Lama mencari tanah kosong, ia tak mendapatkan juga. Hari semakin gelap. Hanya sedikit cahaya jingga senja yang tersisa sebagai satu-satunya sumber cahaya.

“Sudah menggali, Man?” tanya Rebani yang muncul dari arah belakang, lalu menyulut rokok di dekat Ngajiman.

“Tak ada tanah kosong, Reb,” jawab Ngajiman yang juga ikut menyulut rokok. “Tadi aku sudah mencari-cari tanah kosong, tapi tak ada. Pemakaman ini sudah penuh.”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan