Mbah Buya dan Pendidikan Egaliter Santri

2,087 kali dibaca

Pondok Pesantren Al-Ishlah di Desa Bungah, Gresik, Jawa Timur menjadi pesantren awal yang membentuk karakter santri dalam diri saya. Menjadi pijakan kenapa saya bertahan dengan barisan santri yang mengedepankan nilai-nilai egalitarian dalam menjalani ritme kehidupan, inklusif dan menghargai pluralitas, serta humanis kepada setiap orang tanpa memandang suku, agama, ras, dan etnis sekalipun.

Pondok Pesantren Al-Ishlah didirikan oleh KH Ahmad Maimun Adnan di sebuah desa bernama Bungah di Kabupaten Gresik. KH Ahmad Maimun Adnan (selanjutnya ditulis Mbah Buya) sangat keras kepada santrinya, lebih-lebih untuk melaksanakan salat berjamaah. Sebab, disiplin menjadi salah satu kunci untuk menjadi manusia sempurna (insan kamil). Disiplin ditanamkan Mbah Buya khusunya dalam menjalakan aktivitas di pesantren seperti salat berjamaah, puasa Senin-Kamis, ta’dhim kepada kiai maupun dewan guru, serta muraja’ah pelajaran melaui metode sorogan maupun bandongan seperti di pesantren pada umumnya.

Advertisements

Wujud penanaman kedisiplinan salah satunya tergambar dalam pengajian bakda ashar diasuh langsung oleh Mbah Buya dengan kitab Mauidhotul Mu’minin. Melalui pengajian kitab ini, Mbah Buya mengenalkan akhlak kepada para santri untuk menghargai pluralitas. Sementara itu pada pengajian pagi, biasanya dimulai pukul 07.00 WIB, Mbah Buya mengampu pengajian kitab Ihya Ulumuddin. Pengajian ini dikhususkan bagi para ustadz, masyarakat umum, dan santri senior yang menjadi abdi ndalem Mbah Buya selama bertahun-tahun.

Saat saya nyantri di Pesantren Al-Ishlah, Mbah Buya selalu mengingkatkan para santri untuk terus belajar. Sesekali, Mbah Buya memberikan wejangan spiritual kepada para santri. Pesannya, ketika sudah terjun di masyarakat atau lembaga pendidikan, santri harus mengabdi dan terus berjuang. Tentunya, berjuang membawa masyarakat sekitar ke arah lebih baik dengan media ilmu yang sudah diserap selama nyantri di Pesantren Al-Ishlah.

Kepada para santrinya, Mbah Buya selalu menanamkan pendidikan moderat, baik dalam bertindak maupun berpikir. Saya kali pertama mendengarkan istilah moderat ketika Mbah Buya mendeskripsikan konsep moderat dengan sederhana. Seingat saya begini: “Kowe ojo dadi santri sing kagetan lan sesok kuwe kudu duwe prinsip ben ga montang manting ngalor ngidul.” (Kamu jangan jadi santri kagetan. Harus punya prinsip agar tidak terbawa arus).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan