Masa Berlakunya Sanad dalam Hadits Nabawi

1,795 kali dibaca

Sanad (jamak: isnad) adalah salah satu instrumen penting dalam hadits. Syekh Muhammad Ajjaj al Khatib menjabarkan bahwa sanad adalah jalan menuju matan, yaitu mata rantai periwayat yang menukil matan dan sumbernya yang pertama. Demikian Imam as Suyuthi juga mendefinisikan sanad sebagai berita tentang jalan matan.

Kepenulisan hadits, dalam dokumentasinya, telah dilakukan sejak awal abad pertama Islam. Hadits direkam oleh para sahabat dengan metode hafalan dan tulisan. Metode hafalan digunakan karena kapasitas daya ingat masyarakat Arab sangat tinggi. Sedangkan, metode perekaman dengan tulisan juga digunakan dalam bentuk lembaran-lembaran yang dikenal dengan istilah shahifah.

Advertisements

Akan tetapi, dokumentasi hadits sepertinya tidak bebarengan dengan pemberlakuan sanad, khususnya saat Nabi Muhammad masih hidup. Karena, menurut fakta sejarah yang ada, para sahabat yang menerima suatu hadits langsung berasal dari Nabi sendiri. Apabila terdapat perbedaan di kalangan para sahabat, mereka pun dapat mengklarifikasi secara privat kepada Nabi atau sahabat lainnya yang mengetahui ketika menerima riwayat langsung dari Nabi.

Banyak argumentasi yang dilayangkan oleh banyak sarjana hadits mengenai penanggalan awal pemberlakuan sanad. Argumen ini diabadikan dengan metode keilmuan modern baik oleh ilmuwan Barat (orientalis) maupun sarjana muslim sendiri. Umumnya, para orientalis memang secara skeptis melihat hadits bila hanya berdasar pada literatur Islam klasik. Dialektika tajam mewarnai perdebatan antara orientalis dengan sarjana muslim yang sama-sama tidak menerima argumentasi secara a priori mengenai penanggalan sanad dalam hadits.

Syekh Mustafa Azami (w. 2017 M) yakin bahwa sanad pada hadits mulai digunakan pada tahun 35 H/656 M, setelah wafatnya Khalifah Utsman bin Affan. Ketika itu, orang-orang yang meriwayatkan hadits tidak dapat secara otomatis diterima, namun harus diteliti terlebih dahulu keterpercayaan, kejujuran, dan karakternya.

Argumentasi ini didasarkan Azami dan jumhur ulama pada pernyataan Ibn Sirrin (w. 110 H) dalam Shahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H); Hilyatul Auliya’ wa Thabaqat al Ashfiya’ karya Abu Nu’aim al Asbahani (w. 430 H) yang berbunyi,

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan