Marnoklopedia

2,067 kali dibaca

Kang Marno selama satu dasawarsa lebih menekuni hal berbau kepustakaan. Menjadi pedagang toko buku satu-satunya yang masih tetap berdiri, setelah took-toko buku lainnya gulung tikar atau beralih haluan menjadi warkop wifi.

Rupanya, toko buku Kang Marno menantang cyberdigital, era ­e-book online, melawan kemegahan toko-toko buku besar yang menjulang pongah. Ataupun, penerbit “indie” yang memasarkan sendiri bukunya dengan metode swasembada. Tulis sendiri, terbitkan dengan dana pribadi, hingga marketing dan distribusi pun secara mandiri. Mungkin yang terakhir, menjadi alasan kontaminasi idealis penulis dengan karya yang komersil.

Advertisements

Kang Marno hanya seorang lulusan sekolah menengah pertama. Namun, ketekunannya dalam membaca buku yang ia jajakan membuatnya berpengetahuan luas, melebihi sarjana cum laude sekalipun. Inilah keuntungan penjual buku, bisa membaca buku secara gratis dari penerbit yang memberinya “tester” buku, sebelum dinilai layak jual oleh Kang Marno.

Toko buku konvensional Kang Marno bernama “Marnoklopedia”. Unik memang. Karena, bukan sekadar transaksi buku, namun “Marnoklopedia” sering dijadikan diskusi bagi mahasiswa yang ingin mencari referensi buku untuk penelitian. Banyak tokoh penulis, cendekia, dan figur publik lain yang ingin sekadar membeli buku ataupun membeli wawasan Kang Marno.

Selain menjual buku, Kang Marno sering berdiskusi dengan pelanggannya, misal kesesuaian buku yang dicari dengan tema penelitiannya, atau lebih dalam lagi, berdiskusi mencari afirmasi-oposisi yang sedang hangat di media. Kang Marno mafhum se-mafhum-mafhumnya. Tak ayal, Kang Marno memunyai jaringan luas. Mahasiswa yang dulu sering berdiskusi di tokonya kini banyak yang menjadi pejabat. Tokoh atau peneliti yang jelas memunyai kepopuleran, Kang Marno pun mengetahuinya. Sedemikian eksis Kang Marno di kalangan pelanggan Marnoklopedia.

Suatu senja, ketika beberapa orang mengangapnya sebagai waktu santai untuk menikmati hangatnya kopi atau jogging, Kang Marno tampak sedang melayani pelanggannya.

“Kang, aku ingin menulis artikel untuk dikirimkan ke media. Tapi, aku sedang blockwriter nih. Adakah buku yang bisa memotivasi, Kang? Khususunya bagi saya, seorang penulis amateur,” pemuda itu bertanya kepada pemilik Marnoklopedia.

“Ehmm, sebentar. Diskusi saja dulu, minim lima atau sepuluh menit. Baru kita cari bersama apa buku yang cocok untukmu,” Kang Marno menanggapi.

“Intinya, buku yang bisa memotivasi saya agar bisa lancar menulis, banyak ide atau tema, tidak buntu, dan membuat tulisan saya layak diterima atau diposting, Kang,” jelas pemuda itu.

“O, gitu masalahnya. Menulis adalah mencipta. Ketika mencipta, seorang tidak hanya mencurahkan semua pengetahuan dan kemampuannya saja. Tetapi juga, sertakan seluruh jiwa dan napas hidupnya untuk bisa mencipta,” jelas Kang Marno

“Apakah aku harus menunggu jiwa dan napas tadi tercipta dulu, Kang?”

“Bukan! Penulis yang hanya menunggu berarti ia belum menjadi diri sendiri. Inspirasi tidak harus ditunggu, tapi diciptakan. Membaca, iqra, bacalah maka ia menjadi pusat yang tidak bisa dihindari penulis,” dengan lugas Kang Marno memulai ikhwal diskusinya.

“Kemauan keras sudah aku miliki, Kang. Tapi, aku sering buntu. Sering tidak pede dengan karyaku sendiri. Usaha keras juga sudah aku lakukan, tapi… entah mengapa, gamang itu masih ada?”Apakah pengalamanku kurang, Kang?” penulis “amateur” tadi tertarik melanjutkan diklat dadakan ini.

“Mungkin. Tapi tergantung kamu menyikapinya. Hasrat mengejar pengalaman positif sesungguhnya adalah sebuah negativism. Karena bertentangan, sebaliknya penerimaan pengalaman negatif justru menjadi pengalaman positif.”

“Maksudnya, Kang?”

“Begini, kamu tahu buku ini?” Kang Marno mengambil salah satu buku di boks best seller.

“Buku bertema Children Parenting, sederhana saja. Buku ini laris dan kamu tahu apa yang dikatakan penulis ini kepadaku?”

“Apa yang ia ujarkan, Kang?”

“Ia berkata, “Kang Marno, buku ini adalah paradox dengan kelarisan dan fakta di baliknya. Tahukah kamu, Kang? Ketika buku ini awal terbit, aku memberikannya pertama kepada anakku dan yang dilakukannya adalah membuangnya ke tempat sampah.”

“Baiklah, Kang. Ini tentang keluasan berpikir. Aku sudah mulai tercerahkan dan timbbul passion lagi untuk menulis. Aku akan mulai menulis lagi, meski editor menolak atau menerima karyaku. Aku acuh!”

“Bagus. Tentang suatu hal, editor adalah orang pertama yang akan kamu salahkan, ketika karyamu ditolak atau terjadi kesalahan. Namun, juga akan menjadi orang pertama yang sering dilupakan penulis, ketika karyanya dimuat atau bukunya menjadi best seller.

Kang Marno melanjutkan, “Satu lagi, perbedaan sarjana secara spesialisasi dulu dan kini. Di masa lalu, sarjana mengetahui lebih banyak daripada yang mereka bicara dan tulis. Kini, dunia terbalik! Sarjana mengatakan dan menulis lebih banyak daripada yang mereka ketahui.”

“Terima kasih kursus kilatnya, Kang! Sebagai gantinya aku membeli buku TTS ini saja ya, Kang. Sepuluh ribu tiga, kan?”

Kang Marno mengangguk dan segera memberikannya kepada penulis “amateur” tadi.

Tidak berselang lama, tampak seorang berpakaian hijau doreng mengunjungi Marnoklopedia.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” sapa Kang Marno.

“Siap! Ada, Pak! Saya mau mencari buku tentang filososi perang. Karena mantan komandan saya ulang tahun dan saya ingin berikan kado yang istimewa,” jawabnya yang ternyata seorang perwira.

“O, begitu. Apakah komandan Anda pernah berperang? Atau pernah ikut bertempur, misalnya,” tanya Kang Marno seperti biasa, kepada calon pelanggannya.

“Siap! Pernah! Komandan sudah veteran. Dulu, beliau sering berperang. Bertugas di Lebanon, Pakistan, dan beberapa daerah konflik lainnya.”

“Ehmm… Baiklah. Apa pendapat Anda tentang perang? Karena di beberapa buku ada yang dengan sudut pandang berbeda. Setuju dengan perang untuk perdamaian, atau menentang karena hanya menimbulkan kemalapetakaan?”

“Siap! Sebagai prajurit saya netral! Siap ditugaskan apa saja, tanpa melawan, tanpa bertanya tujuan. Misi saya, mengemban tugas dan menyelesaikannya. Itu saja!” dijawab dengan tegas oleh perwira tadi.

Kang Marno tersenyum dengan kekakuan situasi ini. “Bertempur dan menaklukkan musuh bukan suatu kehebatan, namun mengehentikan musuh tanpa perlawanan, itulah kehebatan paling tinggi.”

“Siap! Saya belum mengerti!”

“Menghadapi musuh dengan pemusnahan, mereka akan bertahan. Menghadapi dengan cara mematikan, mereka akan hidup. Jika lawan dalam situsasi bahaya, mereka akan berjuang.”

“Siap! Jadi, saya harus bagaimana? Saya hanya seorang prajurit, bukan jenderal.”

“Maaf… ini hanya filosofi Sun Tzu. Jika kamu memahami langit dan bumi, maka akan membuat kemenangan bisa lengkap.”

“Siap, maksudnya Pak! Saya perwira! Saya tentara! Bukan filosof!”

“Langit adalah akibat perang dari sisi Ketuhanan dan agama. Bumi, akibat dari manusia dan alam sekitarnya.”

“Siap! Paham! Pada intinya peperangan hanya akan menimbulkan kerugian. Tapi dalam strategi perang ada motto, ‘Ketika sepuluh lawan satu, kepunglah! Ketika lima lawan satu, seranglah! Ketika dua lawan satu, bertempurlah! Ketika seimbang, pecah belahlah! Ketika lebih sedikit, bertahanlah! Ketika memadai, hindarilah.’ Itulah batas pengetahuan saya!”

“Kembali ke topik awal, Anda ingin mencari buku untuk seorang veteran yang sudah sering ikut berperang. Maka referensi saya adalah ini…,” sambil menyerahkan beberapa buku dari box katalog religi.

“Siap! Judul buku ‘Sulukiyah’… Siap! Komandan saya bukan rohaniawan, beliau veteran. Jadi, saya rasa ini tidak istimewa.”

“Tetapi…,” Kang Marno berusaha menjelaskan tetapi keburu ditahan oleh perwira tadi.

“Siap! Tidak ada tetapi! Saya cari di toko buku lain saja. Tetapi, terima kasih sudah menemani ngobrol tadi. Sebagai gantinya, saya beli buku TTS ini saja,” sambil menyerahkan uang lembar sepuluh ribu kepada Kang Marno.

Kang Marno pun bergegas menerima uang tadi dan menyerahkan tiga lembar buku TTS yang bergambar foto artis cantik di sampulnya.

“Alhamdulillah, satu jam sudah terjual dua paket buku TTS,” Kang Marno mengucap syukur.

Langganan Kang Marno yang lain pun datang, seorang debater. Pendebat yang sering manggung di televisi swasta ini tampaknya sudah lama Kang Marno tidak melihatnya.

“Apa kabar, Bung? Makin eksis saja nih di dunia debatnya,” sapa Kang Marno.

“Baik, Kang! Kabar baik. Harus narsis dan kontroversi, itu intinya, Kang. Untuk menjaga eksistensi, ha-ha-ha….”

Berdua mereka tertawa. “Ada yang bisa saya bantu, Pak? Mungkin mencari bahan untuk debat lagi minggu ini,” tanya Kang Marno.

“Ehmm… Sebelumnya… ehmm. Begini… Ehmm… apa pendapat Kang Marno melihat debat saya yang terakhir di televisi?”

Kang Marno bingung menjawab. Karena ia bukan penikmat televisi, ia hanya penikmat buku, lalu dijawablah sekenanya, sekadar untuk menghormati pelanggannya.

“Hebat, Pak. Hebat! Argumen Bapak sangat logis! Lawan debat Bapak sampai tidak berkata apa-apa. Bahkan, sampeyan sempat dihentikan oleh MC-nya,” Kang Marno mencoba menerka.

“Hebaat..ya..? Ehmm… baiklah. Padahal saya kalah lo, Kang. Ehmm… makanya saya ingin ngaso dulu dari dunia debat. Ehmm… saya ingin break.”

Kang Marno keluar keringat dingin. Ternyata tebakannya keliru. Namun, pendebat itu tampaknya tidak mempermasalahkannya.

“Meski kalah, tapi bagi saya, Bapak tetap menang! Tetap terkenal, itu buktinya. Selama break ingin lakukan apa, Pak?” Kang Marno mencoba memindah topik

“Ehmm… menjadi youtuber, podcaster, ngulik kehidupan artis ehmm.. lebih menjanjikan, sepertinya. Mungkin saja saya akan membuat seperti itu. Ehmm… Tapi sebelumnya, saya ingin bersunyi ria dulu.”

“Kesunyian memang kawan sejati yang tidak berkhianat, Pak! Kesunyian selalu menghormati para penikmatnya…,” Kang Marno melanjutkan dialognya dengan pendebat tadi.

“Menghormati? Ehhmm… tanpa rasa saling menghormati, apa bedanya manusia dengan binatang? Ehmm… Saya punya pemikiran subjektivitas, jadi mereka, ehmm… mereka harus menghormati opini-opini saya.”

“Harus menghormati, Pak! Namun, manusia yang berkualitas selalu berpikir mengenai kebaikan, kalau manusia umum berpikir tentang kemenangan dan kenyamanan.”

“Ehmmm… Maksud, Kang Marno? Ehmm… debat saya hanya mencari kemenangan, begitu?”

Buru-buru Kang Marno mengklarifikasi, takut pelanggannya tersinggung.

“Bukan kegitu maksud saya, Pak! Tetapi, buat apa seluruh kemenangan jika harus dilakukan dengan menghancurkan, melukai, atau mematikan kehidupan orang lain.”

“Ehmm… Jadi, debat saya melukai, menyinggung, ehmm… atau menyakiti hati orang lain. Begitu?”

“Bisa jadi, Pak! Karena kurang lapang dada. Akhirnya debat hanya berujung friksi opini. Mengetahui adalah tahu berlaku sebagai orang yang tahu dan bila tidak tahu, katakan saja tidak tahu.”

“Ehmm… risiko debater! Disalahkan atau dirugikan bukan apa-apa, ehmm… kecuali mengugatnya terus-menerus. Sedangkan, ehmmm… mengetahui hal benar dan tidak melakukan apa-apa adalah pengecut.”

Susah memang, berdiskusi untuk melayani dengan pendebat. Ada saja materi atau bahannya, pikir Kang Marno. “Jadi, Bapak cari buku dengan tema apa nih?”

“Ehhm… Tidak jadi, Pak! Pembicaraan kita tadi, ehmm… membuat suatu ide untuk konten youtube awal saya. Ehm… sebagai gantinya, saya beli TTS ini saja,” sambil mengambil tiga buku TTS dan menyerahkan uang kepada Kang Marno.

Waktu cepat sekali berubah. Tidak hanya waktu, tetapi juga uang sewa tempat toko Marnoklopedia berubah nominal. Semula Rp 7 juta, kini pemilik lahan sewa menaikkan menjadi Rp 16 juta. Drastis dan lonjakan yang fantastis. Kang Marno merasa tidak mampu membayarnya. Jadi, mau tidak mau, Marnoklopedia harus bayar atau pindah!

Kang Marno teringat tiga pelanggannya dulu. Penulis amatir yang kini sudah menjadi penulis terkenal. Perwira yang dulu itu, kini sudah menjadi jenderal bintang empat. Pendebat langganannya dulu, kini pun sudah menjadi anggota dewan tingkat pusat. Kang Marno berusaha menemui ketiganya, namun diadang tembok birokrasi imitasi dibuat sendiri oleh empunya atau memang yang sudah legalitas.

Kang Marno berhasrat ingin menggunakan koneksinya untuk membantunya keluar dari pelik finansial. Tapi, nuraninya berkata lain. Bahwa, harmoni hubungan persahabatan meski dengan pelanggan sekalipun, harus tetap dijaga, tanpa di-embel-embeli kepentingan pribadi, apalagi bersifat materi.

Marnoklopedia pun pindah. Kini, ia bukan sekadar toko buku, tapi merangkap dengan warung kopi plus wifi, tempat diskusi orang-orang “kental”, bahkan penulis, jenderal, dan pendebat tadi tidak melupakannya. Sering mengajak kolega untuk singgah dan diskusi “illegal” dengan tema-tema tertentu. Marnoklopedia berubah, menuruti nasihat “Hanya orang paling bijak dan orang paling dungu saja yang tidak pernah berubah”.

Penyedia buku dan ruang wawasan, untuk menjaga kewarasan akal,” demikian terpampang banner di pintu depan Marnoklopedia.

Multi-Page

One Reply to “Marnoklopedia”

Tinggalkan Balasan