Korelasi Ajaran Tasawuf Al-Ghazali dan Kiai Hasyim Asy’ari

2,175 kali dibaca

Manusia tak bisa dilepaskan dari hal-hal metafisik, terutama yang berkaitan dengan agama dan Tuhan. Maka dari itu, ada beberapa metode (jalan) untuk menuju Tuhan. Di dalam agama Islam, jalan yang dikenal adalah tasawuf\sufisme. Namun, tidak sedikit masyarakat Islam yang mengabaikan ajaran spiritual Islam atau sufisme yang bersumber dari Zat Yang Mahasuci, penuntun, dan penyejuk hati manusia.

Penolakan ini terjadi karena sikap masa bodoh dan manusia modern yang cenderung mengutamakan rasio (akal) dan menyampingkan potensi qalb (hati). Padahal, Islam sendiri memiliki tiga dimensi, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga dimensi ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Iman merupakan keyakinan kita kepada Allah. Sedangkan, islam berarti kepatuhan dan ketundukan kepada Allah.Adapun, ihsan adalah hubungan antara manusia dengan Allah. Pada level ihsan inilah peran hati sangat diperlukan.

Advertisements

Karena itu, hati merupakan wilayah kerja tasawuf sebagai jalan menata dan mengendalikan hati dan pikiran. Perilaku dan praktik hidup yang menonjolkan sisi kesufian ini, sebagaimana dijelaskan, sebenarnya telah dicontohkan oleh para pendahulu kita. Di antara pendahulu tersebut adalah Imam Al- Ghazali dan KH Hasyim Asy’ari, sebagai tokoh sufi yang membawa tatanan kehidupan dengan menyeimbangkan aspek-aspek ajaran Islam (akidah, syariat, tasawuf), moral, dan spiritual.

Ajaran Tasawuf Al-Ghazali

Doktrin tasawuf Al-Ghazali menyelaraskan ajaran tasawuf dan syariat, sehingga nantinya tasawuf Imam Al-Ghazali dikenal dengan “tasawuf sunni” yang dipakai oleh Ahlussunnah wal Jamaah. Pokok ajaran Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan makrifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep tobat, sabar, zuhud, tawakal, dan rida.

Di dalam tasawuf, Imam Al-Ghazali menjelaskan mengenai zuhud sebagai berpalingnya seseorang menjauhi urusan dunia, walaupun ia mampu memperolehnya. Adapun apabila sikap menjauhi kepentingan dunia itu masih disertai keinginan terhadapnya, maka sikap seperti ini, tidak dapat disebut zuhud melainkan ‘ajz (ketidakmampuan). Dengan definisi ini, Al-Ghazali bermaksud untuk memurnikan zuhud.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan