Konsep Negara yang Sebenarnya

1,073 kali dibaca

Kondisi ideal sebuah negara akan muncul manakala tercipta suatu tatanan interaksi sosial antara warga negara yang memiliki kesatuan visi dalam memandang komunitasnya sebagai subsistem dari sistem kenegaraan. Sikap yang demikian diistilahkan oleh Ibn Khaldun sebagai ashabiyah (solidaritas golongan). Dalam tataran ini, konsep ashabiyah yang dikembangkannya, pada proses awal dimaknai sebagai perasaan nasab, baik karena pertalian darah atau pertalian kesukuan.

Perasaan yang demikian akan mengikat mereka dalam sebuah solidaritas kolektif. Menurutnya, proses ini muncul secara alamiah. Dengan adanya ashabiyah dalam komunitas manusia, maka akan timbul rasa cinta dan kepedulian yang tinggi terhadap komunitasnya, bahkan berupaya untuk senantiasa mempertahankannya.

Advertisements

Melalui perasaan cinta dalam komunitasnya tersebut, maka akan tumbuh perasaan senasib sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, dan saling membantu antara satu dengan yang lain. Pertalian ini akan menimbulkan persatuan dan pergaulan yang harmonis antarkomunitas yang ada. Pertalian ashabiyah yang demikian pada tahap selanjutnya membentuk nasab umum; perasaan yang mengikat berbagai nasab dalam sebuah persaudaraan atau solidaritas kolektif. Perasaan ini diikat oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air, dan bahasa.

Hubungan harmonis antara kedua macam nasab tersebut akan melahirkan kesatuan cita-cita dan tujuan. Sikap ini pada gilirannya akan melahirkan suatu sikap positif terhadap eksistensi sebuah negara. Dalam hal ini, Ibn Khaldun lebih mengelaborasi pengertian ashabiyah dalam bentuk makna kedua, yaitu ashabiyah yang tidak lagi sebatas hubungan nasab, akan tetapi hubungan antarkelompok manusia yang memiliki kesatuan tujuan bernegara. Interaksi antarnasab ini secara luas terjadi melalui berbagai bentuk, melalui perjanjian atau kesepakatan, proses penaklukan, dan lain sebagainya.

Tatkala sikap ini terbentuk secara harmonis, maka pada waktu bersamaan –menurut Khaldun; eksistensi al-mulk (kepala negara) diperlukan. Hal ini diwujudkan sebagai konsekuensi terhadap tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya perlindungan, keamanan, dan terpeliharanya berbagai kepentingan masyarakat lainnya. Untuk mewujudkan tuntutan kolektivitas tersebut, seorang kepala negara dituntut untuk memiliki superioritas intelektual dan kepribadian yang lebih dari rakyatnya.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan