Kiai Hamidi di Hati Santri

1,157 kali dibaca

Sebagian orang mengatakan bahwa pesantren adalah “the little kingdom” dilihat dari “absolutisme” kepatuhan dan penghormatan santri kepada kiai. Seolah kiai adalah raja dan santri adalah abdi. Jika ada kiai lewat, misalnya, santri akan segera menyingkir beberapa langkah dan dengan kepala tertunduk, badan membungkuk, dan mata menatap ke bawah memberikan penghormatan. Apa yang dikatakan kiai akan diterima begitu saja, taken for granted. Dalam kondisi demikian, antara santri dan kiai ada jarak, tak ada keakraban, dan nihil canda tawa.

Saya tidak setuju dengan anggapan demikian, sebab fenomena yang digambarkan itu ditafsiri terlalu berlebihan. Penghormatan santri kepada kiai beragam. Ada yang seperti dicontohkan tersebut. Semua itu berdasarkan kearifan budaya lokal dan nilai agama. Dawuh kiai memang dihormati, namun tak semua diikuti.

Advertisements

Saya sangat tahu persis tentang relasi santri dan kiai, karena saya sepuluh tahun mondok di Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, sebuah pesantren yang sudah berdiri lebih seabad. Dalam waktu yang relatif lama tersebut saya diasuh oleh kiai karismatik bernama Kiai Hamidi Hasan. Bagi saya beliau adalah sosok kiai unik lagi impresif.

Santri itu Teman Kiai

Bagi Kiai Hamidi, santri adalah teman atau sahabat. Beliau selalu bilang cakanca santre (teman-teman santri). Ini panggilan yang akrab. Rujukan motif panggilan tersebut adalah Rasulullah yang menganggap semua muridnya adalah sahabat. Tentu saja ini tidak hanya di lisan, tapi juga tercermin pada tindakan dalam keseharian. Yang namanya teman atau sahabat, tentu tidak ada jarak. Kiai Hamidi memang tidak berjarak dengan santri-santrinya.

Beliau tidak sungkan makan bareng dengan santri. Lazimnya, wadah yang digunakan santri nampan. Dengan daya tampungnya yang lebar, ia bisa mewadahi nasi sedemikian banyak sehingga 5-6 orang bisa makan berjejer mengitarinya. Tentu saja santri merasa segan walaupun beliau nampaknya santai saja. Saat olahraga pagi hari, beliau juga ikut berolahraga di samping santri mengikuti irama musik dan gerakan instruktur yang berdiri di hadapan beliau. Padahal intruktur itu adalah santri beliau.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan