Ketika Hari Mulai Gelap

1,180 kali dibaca

Pernah suatu ketika, aku mendengar sebuah ungkapan, kurang lebihnya begini, “Pada hakikatnya, agama diciptakan hanya untuk mengajarkan kebaikan.”

Kemudian dalam pikiranku, mungkinkah ayah tak mengerti tentang hal itu? Mengapa hati ayah begitu keras seperti batu? Bukankah perbedaan tidak harus disamakan?

Advertisements

Aku tahu betul bagaimana ayah dengan hatinya yang beku, begitu antipati dengan orang-orang yang tak seiman dengannya. Kata ayah, orang yang tidak seiman adalah orang kafir.

***

Terjawab sudah keresahan-keresahan yang selama ini menggelayut dalam kepalaku. Cintaku tak akan menemui tepi pengharapan.

Di perempatan jalan, aku dan Leo berpapasan, tetapi mungkin Leo tak melihatku, karena kondisi jalan yang ramai. Dia bersama ibunya baru saja turun dari angkot. Bu Kris terlihat membawa barang belanjaan, dibantu Leo di belakangnya.

Terlihat sekali, mereka keteteran membawa barang belanjaan. Aku juga bisa melihat peluh Bu Kris dan Leo bercucuran. Terik matahari kian menyengat, asap knalpot mengepul. Sementara mereka berjalan menyusuri trotoar, menerobos debu-debu yang beterbangan.

Aku menyesalkan, aku tak sempat menyapa mereka. Sampai-sampai aku berjanji pada diri sendiri, jika aku bertemu dengan Bu Kris dan Leo akan menyapanya. Aku tahu betul kedua orang tersebut adalah orang yang ramah dan suka menebar senyum dengan sesama. Kedua orang itu pasti orang baik.

Di dalam hati, aku berharap jika mereka benar-benar tidak melihatku.

Berselang beberapa waktu, antara kampungku dengan pasar, tak begitu jauh. Kira-kira, hanya membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai ke pasar. Aku bertemu dengan lalu-lalang orang berjualan di pasar.

Ketika mulai masuk ke area pasar, aku bertemu dengan Pak Robert. Dia tersenyum padaku. Senyumannya selalu aku temukan bila dia bertemu denganku. Senyum ramah itulah yang membuat hubungan kami begitu akrab.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan