Ketika Agama Menjadi Tumbal Kapitalis

1,120 kali dibaca

Di Madura, tanah bukan hanya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Jauh menyelam pada substansinya, tanah juga merupakan simbol kekerabatan atau simbol sosial. Selain itu, eksistensinya juga menjadi simbol kehormatan bagi orang Madura.

Dalam bingkai kebudayaan Madura, ada salah satu istilah mengenai relasi horizontal masyarakat dengan alamnya (tanah). Istilah yang sangat pekat dalam kehidupan orang Madura pada umumnya, yakni tana sangkolan atau tana sangkol. Sebagaimana orang Madura pahami, tana sangkol tidak hanya sebatas tanah, ada karakteristik di dalamnya, yaitu ihwal sakralitas yang melingkupinya.

Advertisements

Dikatakan sakral, karena sebagaimana ditulis KA Dardiri Zubairi dalam bukunya Wajah Islam Madura, masyarakat Madura menganggap tana sangkol sebagai media untuk mempertautkan masyarakat dengan leluhurnya. Hal itu disebabkan karena tana sangkol merupakan tanah warisan leluhur dan menjaganya adalah suatu keharusan.

Tana sangkol menjadi salah satu cara orang Madura menjalin kerekatan dengan para kerabat yang sudah wafat. Khairul Umam dalam tulisannya yang bertajuk “Makna Tanah, Makam, dan Manusia Madura” (dalam buku Rebutan Tanah di Pesisir Pantai Sumenep) menggambarkan bagaimana orang Madura bisa berdialog dan menjalin hubungan batin dengan para leluhur.

Menurut Umam, untuk menambah sakralitas tanah tersebut, biasanya masyarakat mengubur jasad nenek moyang di tanahnya sendiri. Hal itu dilakukan agar mereka bisa senantiasa merasa dekat dengan para leluhur, sekalipun telah tiada. Sehingga, mereka tidak punya alasan untuk menjual tanah yang telah menyatukan batin mereka dengan para leluhurnya itu. Sebab, mengutip perkataan Umam, tanah bukan hanya sekadar bagian dari ekonomi, melainkan juga tersirat sosial-religius.

Namun, itu dulu, sekarang sakralitas yang konon menjadi nyawa dari tana sangkol hilang secara perlahan, dihilangkan lebih tepatnya. Hal ini dibuktikan dengan banyak realitas yang masif dijumpai. Tana sangkol tidak lagi diamini sebagai tanah sakral yang—meminjam bahasanya Kiai Dardiri Zubairi—laknat jika dijual sembarangan. Saat ini, tana sangkol tak lebih sebagai barang dagangan pada umumnya. Sifatnya sudah transaksional dan lucut dari substansi asalnya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan