Hikayat Amplop Kosong

1,402 kali dibaca

Terik matahari menampar-nampar wajahku. Langkahku pun mulai terasa gontai. Leleran keringat telah membasahi pakaian lusuh yang kukenakan. Aku berhenti sejenak di depan sebuah toko kecil. Kurogoh dompet di saku celanaku. Masih ada beberapa lembar lagi. Hari ini lembaran-lembaran itu tidak boleh kubelanjakan semua agar esok masih bisa makan. Aku putuskan untuk mengambil selembar uang bergambar pahlawan membawa pedang untuk membeli beberapa helai amplop di toko yang tampak sepi itu.

Pelan kuayunkan langkah kaki menapaki jalan beraspal yang menguarkan hawa panas. Sambil berjalan kulipat selembar amplop lantas kumasukkan ke dalam amplop yang lain. Amplop itu kini tampak menggembung.

Advertisements

Tersenyum bibirku membayangkan rencanaku nanti. Rencana ini kulakukan setelah mendengar pembicaraan orang-orang di warung kopi utara pasar tentang pesta yang digelar tidak jauh di depan sana, tempat di mana terdengar suara dangdut koplo mengentak-entak itu. Pandemi yang berkepanjangan ternyata tak memupus keinginan warga kota ini untuk tetap merayakan pesta.

Kubetulkan letak maskerku yang sebenarnya sudah betul. Tak lupa kubetulkan pula bajuku, walaupun lusuh setidaknya tak boleh ada satu kancing baju pun yang tak terkancingkan. Kulihat mobil-mobil mewah terparkir di pinggir-pinggir jalan. Kata orang memang yang punya hajat ini orang berada. Dan itu pasti mempengaruhi makanan yang disediakan untuk menjamu tamu undangan; lidahku bergoyang membayangkannya.

Semakin bergegaslah langkahku. Suara musik semakin nyaring berdentum memekakkan telinga. Kusisir dengan jemari tangan rambutku yang hampir seminggu ini tak kukeramasi. Semakin dekat pikiranku mulai berkelebat sesuatu di masa lalu. Jalan sempit menuju rumah ini seolah menyeretku pada belasan tahun di masa silam. Ah, apa perlunya aku mengingat waktu yang telah berlalu. Dan rasa lapar semakin mendorong langkakhku.

Tiba juga akhirnya aku di tempat pesta. Berdesakan aku dengan orang-orang menanti waktu bersalaman dengan tuan rumah. Tangan kami disemprot cairan demikian rupa oleh seorang gadis cantik di depan pintu masuk. Seorang Linmas datang menyibak kami yang berdesak-desakan. Diaturlah antrean panjang ini agar tetap berjarak, sesuai prokes. Kulihat para tamu yang panjangnya mengular ini berjabatan tangan silih berganti dengan tuan rumah yang tampak bagai sultan dan permaisuri yang berdiri gagah dan berwibawa di depan singgasana. Walaupun tampak lelah lelaki setengah baya itu tetap berusaha tersenyum. Aku terhenyak, mataku membelalak, senyum itu tiba-tiba memukul hati dan perutku yang perih.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan