Filosofi Lapar

719 kali dibaca

Lapar itu tidak enak. Lapar itu menyakitkan. Lapar itu sangat menyiksa. Oleh karena itulah saya merasa sangat yakin, tak ada seorang pun di dunia ini yang sudi merasakan lapar. Lantas, bila lapar itu benar-benar merupakan sebuah penderitaan, mengapa Tuhan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berpuasa di bulan Ramadan? Menahan lapar dan dahaga sepanjang hari? Sebulan penuh pula?

Ternyata bila dikaji secara mendalam, di balik rasa lapar yang menyiksa tersebut terkandung filosofi yang sangat luar biasa. Bagi orang yang mampu merenunginya tentu akan berusaha dengan ikhlas menjalankan puasa sebulan lamanya, tanpa merasa keberatan, tanpa mengeluh, tanpa berniat ingin mokel (membatalkan puasa) secara diam-diam—misalnya keluar rumah mencari warung makan yang khusus pada bulan suci pintunya mendadak diberi tirai).

Advertisements

Sebagaimana kita ketahui bersama, orang berpuasa tentu merasakan lapar dan dahaga. Namun dari situ kita akan merasakan nikmatnya makanan dan minuman ketika waktu berbuka puasa telah tiba. Meski hanya beberapa suap makanan dan beberapa teguk air. Sebagaimana orang yang sedang sakit, biasanya dia baru bisa merasakan dan menghargai nikmatnya sehat. Meskipun setelah sembuh dan tubuh kembali bugar, kadang dia kembali lupa untuk mensyukuri nikmat sehat tersebut.

Selain itu, rasa lapar yang kita rasakan ketika melakukan puasa sehari penuh mengajarkan kita tentang arti ‘menahan diri’ dari beragam hawa nafsu yang mengajak kita untuk menabrak larangan-larangan Tuhan. Muhammad Abror dalam tulisannya (NU Online, 13/04/2021) menguraikan, ketika seseorang berpuasa, maka ia akan menhana diri dari makan dan minum. Dengan tidak makan dan minum, maka hawa nafsu (syahwat) akan terkendali. Jika nafsu terkendali, maka sulit bagi setan untuk menggoda manusia, karena pintu utama bagi setan adalah hawa nafsu itu sendiri. Dengan terbebas dari godaan setan, ibadah pun lebih maksimal.

Faedah Lapar

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan