Dialog

3,532 kali dibaca

“Aku sesungguhnya sudah tidak berselera mengucapkan keluhan-keluhan sebab hal-hal yang sudah Tuhan takdirkan untukku. Keluhan membuatku semakin payah, bahkan tidak menggembirakan sama sekali.”

Rembulan di langit yang terlihat hampir sabit seperti lamat-lamat menatap kami yang sedang bercengkrama di atap rumah. Selama tiga minggu ini aku sangat sering melukisnya, bahkan senang memotretnya usai tarawih dan memandanginya hingga menjelang tengah malam saat orang-orang baru turun dari masjid atau langgar untuk tadarus. Di tempatku, tadarus al-Quran pada bulan Ramadan akan berakhir sekitar jam setengah dua belas malam, menjelang dini hari.

Advertisements

Aku baru saja meletakkan mushaf di atas meja lipat di sebelahku. Pakaian salat masih lengkap kukenakan dengan sajadah yang sengaja kugelar kembali di atap rumah sekembali dari tarawih di masjid satu jam yang lalu. Beberapa hari ini aku sangat senang menyendiri di atap, entah untuk mendaras al-Quran atau kemudian mencoret-coret buku harian.

Aku kedatangan tamu malam ini. Rupanya ia sudah menunggu sejak tadi, tetapi ia memilih membiarkanku menyelesaikan bacaan al-Quranku terlebih dahulu. Aku memanggilnya dan memintanya duduk tepat di sampingku.
Kita baru saja bertemu dua puluh lima hari yang lalu, tapi rasanya sangat akrab sekali seperti sudah bertemu puluhan tahun lamanya.

Saat kutanya mengapa ia begitu baik padaku, ia selalu tersenyum dan menjawab dengan ketulusan di wajahnya. Katanya, kita memang sudah sangat akrab. Sebab setiap tahun ia selalu mengunjungiku, bahkan sejak usiaku masih duduk di bangku taman kanak kanak, tapi saat itu aku belum menyadari kehadirannya. Dia tidak pernah berubah sama sekali, tetapi perubahankulah yang seringkali menyebabkan kehadirannya menjadi kembali asing.

Aku dan dia pernah begitu akrab di tahun emasku –begitu dia menyebutnya, sangat dekat tak terpisahkan bak pinang dibelah dua. Ia bercerita penuh antusias dan binar di matanya. Aku hanya tersenyum mendengarkan dengan seksama. Tapi kemudian ekspresinya mendadak berubah, ada raut kecewa ketika bercerita tentangku beberapa tahun ke belakang. Hati hati betul aku bertanya dan berusaha memilah kata meskipun pada akhirnya yang keluar hanya pertanyaan standar “kenapa?”

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

4 Replies to “Dialog”

Tinggalkan Balasan