ibadah haji

Deprimordialisasi Haji dan Kurban

719 kali dibaca

Pemerintah memberangkatkan 92.825 jemaah haji asal Indonesia pada tahun ini. Mereka berangkat dari 13 embarkasi haji, dengan 241 penerbangan. Haji menjadi impian seorang muslim sebagai penggenap rukun Islam dengan keterangan “jika mampu”. Realitanya, banyak masyarakat yang dipandang “tidak mampu” justru bisa berangkat haji daripada mereka yang sebenarnya sudah sangat mampu.

Sebagai bagian rukun, ibadah haji harus diniatkan dalam keadaan apapun. Perkara kelak bisa terlaksana atau tidak merupakan hak Allah. Dari niat harus dimulai dengan menyisihkan harta untuk bisa berkunjung ke kakbah. Niat dan istikamah itulah yang memudahkan jalan mereka yang bisa berangkat haji meski tidak punya penghasilan lebih.

Advertisements

Berharap setiap ritual ibadah haji menghasilkan output kemabruran yang tercermin dalam dua dimensi, yakni ilahiah dan sosial masyarakat. Dimensi ilahiah adalah kemabruran haji berdasarkan persepsi Allah. Sehingga tidak pantas orang lain menghakiminya sebagai pemburu gelar haji. Sementara dimensi kedua adalah sosial masyarakat yang merupakan manifestasi dari perilaku sosial dari kemabruran haji.

Dalam struktur peribadatan rukun Islam sebelum berhaji adalah puasa dan zakat. Puasa merupakan bentuk ibadah vertikal tentang pengabdian hamba kepada Tuhan. Sedangkan zakat adalah manifestasinya dengan pengabdian kepada sesama. Demikian halnya dengan haji yang harus mencerminkan kedua dimensi tersebut secara spiritual, moral, dan sosial.

Meskipun dipahami sebagai ibadah eksklusif dari kacamata biaya, para ulama menyusun kitab yang menjelaskan manfaat ibadah lain yang setara dengan ibadah haji. Misalnya tidak meninggalkan salat jamaah di masjid, zikir setelah salat subuh berjamaah sampai terbit matahari kemudian menjalankan salat sunah dua rakaat, dan pergi ke masjid untuk menuntut ilmu atau mencari kebaikan.

Namun ibadah haji tetap harus diniatkan dan diusahakan oleh setiap muslim sebagai penyempurnaan agama. Kesempatan berhaji adalah peluang untuk menyelenggarakan penjernihan diri kembali. Tercerahkan pada empat tataran: intelektual (objektivitas berpikir), spiritual (kejernihan jiwa, kebersihan hati, ketulusan perasaan, serta kepekaan rohani), mental (ketenteraman, elastisitas dan relaksitas, kedamaian, keseimbangan), serta moral (integritas sosial, kemanusiaan, sikap demokratis).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan