Dari “Sadaring Mana Fakta Mana Fiksi”

742 kali dibaca

Tulisan ini bertolak dari diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Satupena pada Minggu (15/8/2021). Satupena adalah organisasi para penulis Indonesia. Diskusi ini disebut “Sadaring” yang merupakan perpaduan dari frasa sarasehan daring.

Pada edisi Sadaring Satupena #01 kemarin, tema yang diangkat adalah “Mana Fakta Mana Fiksi, Dulu dan Kini,” dengan menghadirkan tiga nara sumber, masing-masing Salman Aristo (penulis naskah film, produser, sutradara), Hikmat Darmawan (kritikus/kurator film, komikus, dan literatur), serta Deasy Tirayoh (cerpenis, penyair, penulis naskah film).

Advertisements

Tema ini diangkat lantaran fakta dan fiksi adalah dua pokok persoalan literasi yang seringkali dikaburkan oleh berbagai kapentingan, lebih-lebih pada hari-hari ini. Fakta yang difiksikan dapat menjadi sebuah tindakan untuk lebih menemukan makna (benang merah) di dalamnya.

Namun, di arus informasi yang begitu deras, bisa sangat mungkin sebuah fakta menjadi fiktif (bukan fiksi) karena dibangun atas dasar keinginan untuk memfiktifkan fakta. Oleh sebab itu, kita sebagai pembaca harus cerdas dan mempu menyaring informasi sebagai sebuah nilai kebermaknaan.

Dalam Sadaring ini, Hikmat Darmawan membahasakan sebagai, “Kegagalan saat ini adalah menyebarkan opini sebagai fakta atau fiksi (baca: fiktif) dianggap fakta. Kita sering mencampuradukkan keduanya. Kita kehilangan kompas dalam memilah hal ini.”

Di sinilah pentingnya menjadi pembaca yang cerdas. Tidak dibodohi oleh sebuah fakta yang difiktifkan atau fiksi yang disusupi oleh aroma dusta. Tabayyun, adalah salah satu nalar ilmiah untuk terhindar dari racun mematikan sebuah berita.

Pembaca Cerdas

Hikmat Darmawan berasumsi bahwa tidak sedikit pembaca, bahkan yang sudah dianggap terpelajar dan berpengalaman sekalipun, tidak dapat membedakan mana fakta dan mana fiksi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yang di antaranya adalah arus informasi yang begitu deras.

Melansir pertanyaan Aristides Katoppo, dalam sebuah pelatihan yang diikuti oleh para jurnalis senior, yang menanyakan perbedaan antara fakta, kabar burung, dan desas desus. Mereka yang nota bene adalah wartawan senior tidak dapat menjelaskan perbedaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa fakta dan fiksi bukan sebuah terma sederhana yang mudah dipahami.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan