Cokelat Ramadan

2,083 kali dibaca

Setiap pertengahan Muharam aku selalu mendapat permen, tasbih, dan surat. Namun tahun ini tidak. Aku hanya mendapat telepon dari rumah, bahwa seseorang telah melamarku dan kini mereka menunggu jawaban. Aku tutup telepon dan berlari keluar, masuk ke kamar kecil, dan menangis lalu tertawa.

***
Setiap santriwati mendapat surat dan permen, tak terkecuali ustazah yang berjaga di koperasi, yang setiap hari mendapat titipan surat. Namun, setelah pintu gerbang santriwati selesai dibangun, tidak ada lagi surat dan permen.

Advertisements

Saat itu Jumat pagi, semua santriwati kerja bakti. Aku dan dua temanku dapat bagian membersihkan gudang. Satu temanku pergi mengambil sapu dan satunya membantuku menurunkan karung di atas tumpukan barang bekas. Tiba-tiba karung itu jatuh dan berhenti di depanku, lalu sesuatu mendarat di depan kakiku. Sebuah surat yang di sisi kanan bawah tertera tulisan: Teruntuk Fatimah.

Semenjak itu aku selalu membaca kalimat awalnya. Dan membayangkan seorang pangeran yang jauh di negeri sana mengirimkan surat padaku yang terkurung di kastil. Aku selalu saja membayangkan akan hal itu.

Esoknya, ketika aku kembali untuk menaruh sapu yang rusak, karung itu sudah tidak ada, dan kurasa ustazah sudah membuangnya. Aku berlari ke belakang asrama. Di sana, pada gerobak pengangkut sampah karung itu tertumpuk bersamaan dengan plastik dan pembalut. Aku mendengus dan menyumpahi ustazah.

Belum tuntas rasa kesalku pada ustazah, aku tidak masuk kelas belajar malam. Aku membawa surat yang kemarin ke atas loteng, tempat biasa teman-teman menjemur pakaian. Di sana aku biasa menyendiri sambil melihat bintang yang berkedip. Lalu aku mulai membaca surat itu dua-tiga kali sampai bel tengah malam berbunyi. Semua lampu dimatikan dan aku segera mengatupkan mata sembari melipat surat dan menyelipkannya ke dalam dada.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan