Bila Santri (Mau) Jadi Wartawan

1,050 kali dibaca

Entah karena bisikan dari mana, saat dimasukkan pondok (ingat: saya tidak mondok, tapi dimasukkan ke pondok), saya justru mulai menyukai dunia tulis-menulis. Saat teman-teman santri yang lain belajar mengaji, saya malah lebih sering belajar nulis-nulis puisi, atau yang sebangsanya. Sendiri.

Ndilalah ada pengurus pondok yang ngonangi. Maka, ketika pondok mengadakan imtihan, berbagai acara digelar, saya “dihukum” untuk membaca puisi di atas panggung, berdeklamasi. Sendiri.

Advertisements

Itulah pengalaman saya yang pertama dan terakhir membaca puisi di atas panggung.

Tapi makin hari, gairah belajar menulis itu makin menjadi-jadi, dan puncaknya ketika saya kuliah sambil tetap nyantri. Tapi saya tak punya guru dalam artian harfiah. Saya belajar menulis secara otodidak, dari semua tulisan yang ada di depan mata. Dari buku, majalah, koran, dan tulisan dalam bentuk apa saja.

Saat membaca, saya tak begitu peduli pada isinya. Saya lebih peduli pada bagaimana cara para penulis itu menuangkan ide atau gagasannya ke dalam tulisan. Mulai dari gaya menyusun struktur tulisan, gaya pemakaian bahasa, gaya merangkai kata per kata, dan sebagainya. Tahun kedua kuliah saya terbilang sudah bisa menulis. Terbukti, selain di majalah kampus, beberapa tulisan saya dimuat di Jawa Pos dan Surya, dua harian terbesar di Jawa Timur saat itu.

Karena sudah terlalu dalam “terperosok” ke dalam dunia tulis-menulis itulah, begitu lulus kuliah, target saya cuma satu: menjadi wartawan, jembatan emas untuk menjadi penulis emas.

Bukan perkara mudah. Sebab, dikurung di pesantren dan dikuliahkan di IAIN oleh orang tua itu tujuannya cuma satu: agar anaknya menjadi kiai, mubaligh, atau guru ngaji. Lah, ini malah mau jadi wartawan! Titisan dari mana?! Maka, perkara terberat saat itu bukan tes menjadi wartawan, tapi mendapat restu ibu!

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

2 Replies to “Bila Santri (Mau) Jadi Wartawan”

Tinggalkan Balasan