Beragama Tanpa Akhlak

1,833 kali dibaca

Saya masih sering teringat akan guru-guru saya dulu, dulu sekali; guru-guru saya di madrasah atau di langgar-langgar. Guru-guru saya itu mendidik kami dengan cara-cara sederhana, dengan contoh-contoh sederhana.

Misalnya, saat melihat ada kerikil berserak, atau seonggok batu, atau sebatang kayu melintang di tengah jalan, saya diminta memungut dan menyingkirkannya. Agar orang yang lalu setelahmu tidak diterantuk, tersandung, atau keserimpet dan jatuh. Dan itu akan melapangkan jalan orang lain setelahmu. Begitu pesan guru-guru saya.

Advertisements

Atau jika sedang berjalan, lalu berpapasan dengan atau melintasi orang yang lebih tua, kami diminta tersenyum, membungkuk, dan memberi salam. Begitulah cara guru-guru saya dalam mendidik kami bersikap hormat dan menghargai orang lain, terutama yang lebih tua. Ketika sedang berbicara dengan orang lain pun, kami dilarang bersuara lebih nyaring dari lawan bicara, lebih-lebih jika lawan bicaranya adalah orang yang lebih tua.

Itu semua, menurut guru-guru saya dulu, adalah bagian dari akhlak, misi terpenting yang diemban Nabi Muhammad dalam kerasulannya. Dari masa yang jauh itu, saya teringat salah satu hadis Nabi yang sangat popular: Artinya, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Karena itu, dapat pula diambil satu kesimpulan bahwa sesungguhnya agama itu, pertama-tama, adalah soal social order atau tertib sosial, bukan seberapa tekun seseorang menjalankan ritual ibadah. Ada beberapa hadis yang menguatkan argumen ini.

Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Dari Abu Hurairah, misalnya, dikisahkan bahwa ada seorang sahabat yang menyampaikan kepada Nabi perihal seorang perempuan yang

rajin salat malam, selalu berpuasa di siang hari, dan suka bersedekah. Namun, perempuan tersebut berlidah tajam. Sering menyakiti tetangganya dengan lisannya. Mendengar itu, Rasul memastikan bahwa perempuan tersebut bukan orang baik, atau saleh, dan ia termasuk penghuni neraka.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan