Barongsai, Antara Perspektif Tionghoa dan Islam

1,363 kali dibaca

Tanggal 22 Januari 2023 menjadi hari libur nasional dalam rangka memperingati tahun baru China 2574, atau yang lebih sering kita dengar dengan tahun baru Imlek. Hal ini sebenernya sama dengan kalender-kalender yang lain, misalnya tahun baru Masehi pada tiap tanggal 1 Januari atau tahun baru Islam (Hijriah) yang jatuh pada tiap tanggal 1 Muharram.

Tahun baru Imlek menjadi momen yang spesial bagi masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia, terlebih tahun baru Imlek di Indonesia melewati perjuangan berat atas diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

Advertisements

Pada masa Orde Baru, etnis Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi yang cukup pelik, sekalipun status mereka sudah menyandang warga negara Indonesia. Presiden Soeharto pada waktu itu mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967, yang menginstruksikan etnis Tionghoa agar melaksanakan maupun merayakan acara keagamaan dan adat secara tertutup hanya di lingkungan mereka. Hal ini menjadi penjara bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Secara sosial mereka mendapat stereotip yang kurang bagus dari masyarakat lainya, ditambah secara keagamaan dan budaya, mereka dibelenggu oleh negara.

Setelah 33 tahun mengalami diskriminasi, akhirnya etnis Tionghoa bisa menjalankan acara keagamaan dan tradisi mereka secara bebas. Di era kepemimpinannya, Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Dalam Keppres ini, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dapat dilaksanakan secara terbuka dan tanpa memerlukan izin khusus. Atas jasanya ini pun, Gus Dur diangkat menjadi Bapak Tionghoa Indonesia, termasuk ikut serta meramaikan acara-acara besar etnis Tionghoa, salah satu perayaan yang terbesar adalah Tahun Baru Imlek.

Tahun Baru Imlek di Indonesia selalu menjadi perayaan yang ramai, sama halnya dengan tahun baru dalam hitungan kalenderr lainnya. Hal ini kerena perayaannya dilakukan secara terbuka dan dapat dinikmati (baca: ditonton) oleh semua khalayak. Kemunculan pertunjukan Barongsai dan Liong (tarian singa dan ular naga) menjadi momen yang selalu ditunggu, tidak hanya oleh etnis Tionghoa sendiri, melainkan oleh masyarakat luas. Kehadiran seni Barongsai selalu mendapatkan atensi khusus dari masyarakat, mengingat pertunjukkan yang seru dan iringan musiknya yang memecah keheningan.

Di Indonesia, etnis Tionghoa semakin berkembang dan eksis seiring dengan perubahan yang terjadi. Salah satunya dalam ranah keagamaan. Etnis Tionghoa mulai banyak memeluk agama-agama baru (beralih kepercayaan). Hal ini bisa menjadi dilema juga bisa menjadi kekayaan nilai jika tradisi leluhur dihadapkan dengan kepercayaan agama baru. Misalnya, sudah banyak etnis Tionghoa di Indonesia yang sudah memeluk agama Islam. Seni Barongsai secara khusus, mengalami dampak atau ikut tertarik masuk ke dalam perubahan-perubahan tersebut.

Perspektif Tionghoa

Nama Barongsai sendiri sebenarnya bukan nama asli dari pertunjukan ini. Penyebutan Barongsai hanya ada di Indonesia. Nama asli seni pertunjukan ini dalam budaya Tionghoa di daratan China disebut Wu Shi.

Penyebutan Barongsai di Indonesia merupakan bentuk akulturasi budaya, yakni kata “barong” berasal dari bahasa Bali yang bermakna pertunjukan boneka, karena memang sekilas memiliki konsep dan bentuk pertunjukan yang mirip. Adapaun, kata “sai” merupakan serapan dari kata shizi, yang berarti singa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Barongsai dijelaskan sebagai barongan China yang biasa dipertujukkan pada tahun baru Imlek.

Sejarah Barongsai sendiri ada beberapa macam versi. Adapun salah satu versi populernya, Barongsai sudah ada sejak era mitologi Tionghoa kuno, kurang lebih 1.500 tahun yang lalu, di masa Dinasti Qing. Barongsai (Wu Shi) dilatarbelakangi kemunculan sosok Nian (makhluk buas yang bertaring, bertanduk, dan bertubuh banteng).

Sosok Nian ini menjadi prahara bagi masyarakat perdesaan, karena jika awal musim semi, Nian muncul dan memangsa apa saja yang ada di desa. Hingga pada suatu waktu, ketika Nian datang, munculah sosok singa yang menghalangi Nian agar tidak memporak-porandakan desa dan memangsa segala yang ada di desa. Singkatnya, Nian kalah. Berawal dari sini, masyarakat mulai membuat patung singa untuk menangkal Nian.

Adapun dalam perspektif Tionghoa (bermuara pada ajaran Tao), seni pertunjukan Barongsai sendiri bermakna sebuah bentuk pengusiran roh jahat dan aura buruk (tolak bala). Secara khusus juga, dilakukan atau dipentaskan di awal tahun dengan harapan, agar satu tahun yang akan datang tersebut dijauhkan dari segala bala yang dapat membahayakan kehidupan manusia, hingga keamanan dalam urusan ekonomi.

Selain dianggap dapat menolak bala, Barongsai juga dipercaya dapat membawa hoki, sehingga juga menjadi bagian wajib di perayaan Imlek dengan maksud agar di tahun baru tersebut mendapat keberuntungan juga kemudahan dalam hal apapun. Selain di perayaan Imlek, biasanya juga dipentaskan di acara keagamaan dan kebudayaan yang dianut oleh etnis Tionghoa, pembukaan klennteng dan Vihara misalnya. Filosofi dari Barongsai sendiri menggambarkan keberanian, kekuatan, dan keberuntungan.

Perspektif Islam

Bagi masyarakat etnis Tionghoa yang telah memeluk Islam sebagai agama, keberadaan seni Barongsai dan tradisi Tionghoa lainnya memang diakui sebagai bagian dari tradisi leluhur mereka, namun ada koridor syariat Islam yang harus ditaati sepenuhnya, yakni melarang pemberhalaan atau penyembahan kepada selain Allah SWT.

Sebenarnya, analoginya sama dengan masyarakat kita. Misalnya mengambil contoh budaya Jawa. Bagi kita masyarakat muslim yang lahir di Jawa, kita mengakui dengan sadar bahwa budaya-budaya kita juga warisan dari para leluhur yang harus dilestarikan, mengingat hal tersebut adalah identitas kultural kita.

Hal teresebut juga yang ingin ditunjukkan oleh muslim Tionghoa di Indonesia. Dalam perjalanannya, setidaknya ada dua sisi yang patut disorot dalam kacamata Islam mengenai seni Barongsai yang dipentaskan oleh komunitas muslim Tionghoa. Asumsi tersebut berangkat dari tradisi leluhur Tionghoa yang tidak bisa diingkari, namun di sisi lain, dalam tradisinya terdapat nilai-nilai yang tidak bisa dengan enteng saja diterima oleh syariat Islam.

Pertama, keberadaan prosesi ritual dan makna Barongsai yang lengkat dengan tradisi Tionghoa jika ditempatkan di wadah Islam. Kedua, pemaknaan nilai Barongsai dalam tujuan pementasannya.

Pertama, dari sisi Barongsai sebagai tradisi Tionghoa. Hal itu tidak dapat dibantah. Jika melihat perayaan Imlek dan pementasan seni Barongsai antara Muslim Tionghoa secara khusus dengan etnis Tionghoa di China tentu sangat berbeda. Perbedaan ini disebabkan interaksi-tradisi sosial di lingkungan yang juga berpengaruh terhadap konsep-konsep pementasan, meskipun tidak mengubah bentuknya. Kaitanya dalam hal ini, aslinya, Barongsai adalah sebuah kontruksi religuitas yang menjadi wasilah dalam kepercayaan mereka untuk tolak balak dan mengharapkan hoki dalam setahun yang akan datang.

Komunitas muslim Tionghoa di Indonesia, yang secara formal dilembagai oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), menyatakan, bahwa komunitas muslim Tionghoa di Indonesia sudah tidak sejauh itu untuk mengamalkan nilai-nilai implisit yang bermuara terhadap akepercayaan teologi.

Perayaan Imlek dan apa yang ada di dalamnya, termasuk Barongsai, adalah budaya Tionghoa yang sebenarnya tidak memilki kaitan dengan agama atau ajaran tertentu. Adapun simbol-simbol yang melekat dalam perayaan adalah perwujudan budaya Tionghoa. Kembali pada perbedaan yang dilakukan oleh muslim Tionghoa, setidaknya mereka tidak menyuguhkan makanan-makanan yang diharamkan oleh syariat Islam.

Kedua, dalam ranah pemaknaan nilai dan tujuan pementasan Barongsai. Jika ditelaah, pementasan Barongsai yang dilakukan muslim Tionghoa adalah bentuk meramaikan Tahun Baru Imlek semata, tidak berbeda dengan pawai di Tahun Baru Hijriah, dan rentetan kembang api di Tahun Baru Masehi. Maka hal ini tidak ada masalah. Kebanyakan juga, pementasan Barongsai yang tujuannya untuk tolak bala hanya dilakukan oleh etnis Tionghoa yang memeluk agama Konghuchu atau Buddha. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi bahwa amalan sampai dengan apa yang diniaatkan.

Alhasil dalam ranah tradisi Tinghoa dan tujuan pementasan tidak ada problem berarti bagi muslim Tionghoa, karena mereka hanya meniatkan untuk ajang hiburan dan memperluas interaksi sosial-kerukunan umat beragama. Hal yang perlu disadari, bahwa Tahun Baru Imlek dirayakan oleh semua etnis Tionghoa yang memeluk berbagai agama.

Mengingat Imlek adalah tahun baru China, dan bukan tahun baru ajaran tertentu. Maka jika ditanya, apakah seorang muslim boleh memainkan pentas Barongsai, jawabanya boleh, asal sesuai dengan apa yang dipahami syariat Islam, seperti yang disampaikan PTIT. Bahkan, di Madiun, ada Pondok Pesantren Al-Mujaddadiyah yang mengadakan ekstrakurikuler Barongsai. Hal ini bermanfaat sebagai sarana olahraga bagi para santri.

Kehadiran pertunjukan seni Barongsai di ranah publik memang dipersepsi sebagai tanda kebangkitan etnis Tionghoa di Indonesia. Seringkali pertunjukan seni Barongsai kita jumpai dalam beragam event, khususnya Tahun Baru Imlek seperti saat-saat ini, dan tak jarang ikut meramaikan pawai Tahun Baru Hijriah di berbagai daerah. Maka sejujurnya, yang penulis pahami, siapa pun boleh memainkan seni Barongsai, dan khusus bagi umat muslim, apa yang diniatkan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Wallahu ‘Alam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan