Bagaimana Ibnu Rusyd dan Al-Farabi Memandang Perempuan?

952 kali dibaca

Perempuan adalah sosok manusia multidimensi yang tak akan pernah habis dibicarakan dan didiskusikan dari pelbagai perspektif, seperti: sosiologi, psikologi, budaya, filsafat, dan lain sebagainya. Sebab, ia kerap diposisikan sebagai makhluk nomor dua, direndahkan, dan tidak dihargai dalam kancah kehidupan sosial-politik. Bahkan, ketika dihadapkan dengan seorang laki-laki, perempuan tidak lebih hanya sekadar pelengkap penderitaan. Juga lebih banyak dijadikan obyek ketimbang subyek. Dari perspektif sejarah, perempuan kerap menjadi korban mitologi, ketidaknyamanan saat hamil, dan rasa sakit yang dialami ketika melahirkan. Hal tersebut dianggap sebagai hukuman atas dosa pertama (dosa Hawa).

Itulah mengapa dari zaman dahulu hingga sekarang muncul tindakan misoginis terhadap seorang perempuan. Tindakan tersebut, tampaknya menemukan momentumnya karena ditopang oleh doktrin teologis tak terkecuali di dalam Islam. Di mana sebagian para pemikir Islam dan ulama kerap memosisikan kaum laki-laki (superior) daripada kaum perempuan (inferior), baik dalam persoalan kepemimpinan agama maupun spiritual dan lain sebagainya.

Advertisements

Padahal, dalam ajaran Islam, kedudukan antara laki-laki dan perempuan sama, artinya Islam tidak memihak di antara salah satunya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah bahwa “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa di sisi Allah”. (QS. Al-Hujarat: 11)

Ayat ini mengindikasikan bahwa Islam sejak kedatangannya, merupakan agama yang sangat menjaga harkat dan martabat kaum perempuan dengan berpegang pada prinsip persaudaraan, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Berlandaskan pada ayat tersebut, maka dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, antara kaum perempuan dan laki-laki diposisikan setara sepanjang ia mempunyai kemampuan lebih (kemampuan intelektual bukan jenis kelamin). Al-Farabi (670-950 M) misalnya, salah satu tokoh besar dalam filsafat Islam dan juga dikenal sebagai mahaguru filsafat. Ketika berbicara tentang puisi, Al-Farabi menyatakan secara tegas dan lugas bahwa, kriteria unggulan dari sebuah puisi tidak ditentukan oleh siapa yang menyampaikan, baik laki-laki atau perempuan. Akan tetapi sejauh mana keindahan dari susunannya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan