Alasan Penting Menghormati Kitab Kuning

2,235 kali dibaca

Kitab kuning (turas) adalah ciri khusus pesantren. Ia tidak bisa digantikan dengan buku terjemahan walaupun memiliki isi yang sama. Ada semacam aura tertentu ketika kitab kuning dibacakan. Begitu pula ketika ada santri yang menguasai kitab kuning, otomatis dia akan dilabeli sebagai alim, betapapun kita tahu bahwa pengetahuan agama juga bisa diperoleh dari buku. Ini merupakan rasa penghormatan kepada eksistensi kitab kuning kuning sebagai karya tulis yang dihasilkan oleh sosok mulia. Jadi pantas jika karyanya sangat dihormati.

Di pesantren, kitab kuning ditempatkan nomor dua setelah Al-Qur’an. Bahkan ada ritual tersendiri sebelum membaca kitab kuning, yaitu membaca al-Fatihah khusus bagi si pengarang. Ritual demikian dipercaya akan mudah untuk memahami kitab kuning yang dibaca. Jika kitab kuning lebih dimuliakan daripada buku, rasanya tidak berlebihan. Para pengarang kitab kuning adalah ulama yang setidaknya memiliki tiga kriteria: kesucian, ketekunan, dan kecerdasan.

Advertisements

Kesucian ini mencakup kepribadian dan niat dalam menulis. Misalnya Imam Bukhari, setiap hendak menulis, beliau salat dua rakaat untuk minta petunjuk kepada Allah. Beliau memiliki kitab hadis yang berjumlah sekitar 7 ribu hadis. Jadi sebanyak itu pula beliau salat.

Ibnu Sina, pengarang al-Tib, buku kedokteran yang jadi rujukan Barat hingga abad ke-16, setiap kali menghadapi persoalan pasti salat. Ini merupakan anjuran Nabi bahwa idza hamma ahadukum bi amrin farka’ rokataini bigairil faridhoh. Lain lagi dengan al-Gazali. Beliau uzlah dua tahun di menara masjid Basrah demi menulis Ihya Ulumudin yang menjadi kitab kuning master piece sepanjang zaman. Ketika Imam Syafi’i mengadu kepada sang guru, Imam Waqi’, tentang lemahnya hafalannya, beliau mendiagnosa karena dosa, bukan karena kurang unsur DHA lantaran kurang minum susu.

Bahkan demi kesucian niat, para ulama sangat hati-hati menetapkan tujuan menulis kitab kuning. Pernah terbetik di hati Imam Ibnu Malik untuk mengarang kitab nahu yang lebih praktis ketimbang karya gurunya, Imam Ibnu Mu’thi. Akibatnya fatal. Ilmu Imam Ibnu Malik hilang. Dia sadar. Dia minta maaf kepada sang guru. Baru ilmunya kembali lagi yang bisa kita baca dalam seribu bait kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan