Aku dan Pesantrenku (6): Memukul Setan Tidur

1,414 kali dibaca

Mengenangnya hari ini, menjalani hari-hari sebagai santri bertahun-tahun lampau, hidup serasa “upnormal”. Andai waktu bisa diputar ulang, belum tentu saya sanggup menjalaninya seperti itu lagi.

Tapi pengalaman hidup itu sungguh berguna ketika kelak, bertahun-tahun kemudian, selama tahun-tahun menjadi wartawan, saya harus bertemu dengan begitu banyak beragam orang: mulai dari bandit sampai pandit; mulai dari pengemis sampai artis; mulai dari coro sampai ndoro; mulai dari yang papa sampai yang maha kaya; mulai dari penjahat sampai pejabat. Dan sebagainya. Di saat-saat seperti itu saya selalu teringat ajaran para guru di pesantren: hidup tak perlu gugup dan gagap.

Advertisements

Saya pernah mengalami mondok di dua pesantren, Pondok Pesantren Al-Qodiri dan Al-Fattah, keduanya di Kota Jember, Jawa Timur. Tapi sebelum itu saya sebenarnya juga pernah dimasukkan pondok. Sayangnya, setelah malam pertama berlalu, subuh-subuh, saat para santri berangkat ke masjid untuk salat berjemaah, saya kabur…

Saat itu, tahun 1985, Al-Qodiri belum seperti sekarang ini, yang sudah berkembang begitu besar hingga memiliki perguruan tinggi dan cabangnya ada di banyak tempat. Saat itu Al-Qodiri lebih dikenal sebagai pesantren tarekat. Tepatnya Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah. Karena itu, setiap malam Jumat rutin diadakan manaqiban Syekh Abdul Qadir Jailani. Jika malam Jumat Manis (Legi), jemaah manaqibnya bisa mencapai ribuan orang, datang dari berbagai daerah di Indonesia. Tapi khusus untuk santri, manaqibnya (versi pendek) tiap tengah malam. Hingga saat ini, Al-Qodiri masih diasuh KH Ahmad Muzakki Syah.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

One Reply to “Aku dan Pesantrenku (6): Memukul Setan Tidur”

Tinggalkan Balasan