Aku dan Pesantrenku (3): Ibarat Laboratorium Kehidupan

1,304 kali dibaca

Pondok Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep, Madura, Jawa Timur adalah tempat saya menimba ilmu selama 8 tahun, dari tahun 2000 hingga 2008. Dari pondok inilah saya tidak hanya belajar perkara halal-haram, makruh-mubah. Di pondok itu saya juga belajar hidup sederhana dan disiplin waktu. Kehidupan di pesantren, bagi saya, adalah bagaikan laboratorium kehidupan akhlaqi untuk meraih kesederhanaan hidup.

Kesedernaan dalam kehidupan sebenarnya sudah dikenal sejak dulu. Ulama sufi mendefinikan “kesederhanaan” dengan istilah zuhud. Prinsip zuhud ini didasarkan pasa sebuah hadis Nabi “ازهد فى الدنيا يحبك الله ازهد فيما ايد الناس ويحبك الناس” (Zuhudlah dalam perkara dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berzuhudlah dari apa yang dimiliki manusia, maka manusia akan mencintaimu).

Advertisements

Maka dengannya, kaum sufi  meniti jalan Tuhan untuk meraih kesederhanaan melalui zuhud. Karena itu tak ayal jika pesantren yang kita kenal sampai detik ini selalu mengajarkan tasawuf sebagai kajian rutinan, sebagaimana di Pondok Pesantren Annuqayah yang mengkaji Kitab Ihya Ulumuddin setiap tiga kali dalam satu pekan, Kitab Minhajul Abidin dua kali dalam satu pekan, bahkan kitab-kitab kecil seperti “al-Minahus Saniyah” juga menjadi kajian rutinan. Itu semua sebagai ikhtiyar pesantren dalam mendidik santri untuk belajar hidup sederhana.

Belajar kesederhanaan hidup di pesantren misalnya bisa diperoleh dari melihat gaya hidup kiai, mulai dari cara berpakaian, cara mengajar, hingga dalam mengarungi seluk beluk kehidupan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Karena itu, kiai dalam lingkungan pesantren termasuk sentral pembelajaran dari berbagai sisi, baik dari keorganisasian maupun akhlak, misalnya. Gerak-gerik kiai menjadi i’tibar yang sangat berharga bagi santrinya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

2 Replies to “Aku dan Pesantrenku (3): Ibarat Laboratorium Kehidupan”

Tinggalkan Balasan