Ahmadiyah dan Problematikanya di Indonesia (2)

816 kali dibaca

Setidaknya setelah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) melayangkan gugatakan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 tentang frasa penodaan agama pada pasal 1, 2, dan 3 UU Nomor 1/PNPS/1965, eksistensi JAI masih melenggang dengan kembang kempisnya persekusi-respons keras masyarakat di sekitarnya.

JAI sendiri sebelumnya merespons segala persekusi-respons keras pada jemaatnya dengan mengedepankan humanis, tanpa membalas dengan tindakan tegas. Namun, semenjak gugatanya ke MK ditolak, JAI mulai menggandeng advokat eksternal. Mereka menampung segala keluh kesah yang dialami oleh Jemaat, dan membawanya ke ranah hukum jika memenuhi sarat.

Advertisements

Dr Ahmad Najib Burhani, saksi ahli dari pihak pemohon (JAI) ketika melayangkan gugatan ke MK, menjelaskan, bahwa Ahmadiyah tidak bisa disebut sesat karena rukun iman dan rukun Islam yang dipercayai oleh Ahmadiyah sama dengan umat muslim mayoritas; menegaskan juga bahwa kitab suci Ahmadiyah juga Al-Quran dan syahadatnya pun sama. Lebih lanjut, Dr Ahmad Najib Burhani yang juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menuturkan, tudingan Ahmadiyah di Indonesia hanya disalahtafsirkan oleh sebagian besar orang (kelompok), sejatinya Ahmadiyah tetap mengimani Nabi Muhammad SAW, dan Mirza Ghulam Ahmad diimani “hanya sebagai pelanjut al Masih”.

LIPI yang secara khusus melakukan penelitian bertahun-tahun dalam berbagai bidang, salah satunya mengenai varian gerakan Islam di Indonesia (termasuk JAI), juga membantah tudingan-tudingan yang dilayangkan pada Ahmadiyah, khususnya JAI di Indonesia. Penelitian tersebut dipublikasikan dalam website-nya secara singkat .(baca: http://lipi.go.id/publikasi/memahami-kontroversi-ahmadiyah/12714 & http://lipi.go.id/publikasi/melintasi-batas-identitas-dan-kesarjanaan-studi-tentang-ahmadiyah-di-indonesia/12685 ).

Terlepas dari diskursus panjang dan bantahan perihal kesesatan Ahmadiyah, penulis di sini hanya mencoba mengangkat dan menjawab persekusi terhadap JAI, juga potensi disintegrasi antar-entitas bangsa ini. Perdebatan perihal kesesatan Ahmadiyah biarlah dikaji juga dibicarakan oleh para ahli dan ulama yang memiliki kredibilitas pada ranah tersebut. Termasuk, sikap yang lebih tegas dari pemerintah mengenai JAI sendiri. Mengingat, JAI sampai hari ini adalah ormas yang legitimasinya diakui dan dilindungi oleh negara, tetapi di sisi lain juga dihantam serangkaian fatwa sesat dan persekusi.

Melihat Peristiwa Persekusi JAI Sintang

Masjid Miftahul Huda Jemaah Ahmadiyah Indonesia, di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, didatangi oleh massa setelah salat Jumat (3/08/2021). Sebelumnya, informasi akan adanya pergerakan massa tersebut sudah dideteksi oleh Polres Sintang, kemudian Polres Sintang menerjunkan anggotanya untuk menjaga di sekitar area masjid. Namun, karena aparat kalah jumlah, massa berhasil masuk ke area masjid, dan melakukan pengerusakan hingga pembakaran.

Belakangan, setelah didalami oleh polisi, aksi tersebut ternyata dipantik oleh narasi-narasi provokasi, karena keberadaan JAI di Sintang dianggap menjadi prahara keberagamaan dan ketenangan masyarakat sekitar. Tetapi , apa yang dilakukan oleh massa juga tidak bisa dibenarkan, bahwa provokasi, kebiasaan bermain hakim sendiri, dan mengedepankan emosi adalah hal yang sangat fatal. Maka, peristiwa persekusi dan pengerusakan masjid Ahmadiyah di Sintang, setidaknya berimplikasi pada dua hal.

Pertama, menyalahi hukum yang berlaku, dan aksi oleh massa masuk dalam ranah pidana. Mengingat dalam SKB 3 Menteri sudah ditegaskan: yang memiliki hak penindakan dan pemberian sanksi, baik pada anggota JAI, prasarana ibadah JAI, Organisasi, dan masyarakat yang melanggar adalah aparat sesuai perundang-undangan.

Kedua, berpotensi memecah belah kerukunan dan toleransi beragama, berbangsa, dan bernegara, toh sekalipun kita (mayoritas) berbeda dengan JAI, tetap saja JAI adalah manusia dan warga negara Indonesia yang dijamin hak-haknya. Sebab, seringkali persekusi pada kelompok minoritas (salah satunya JAI) menciderai nilai-nilai kemanusian yang harusnya dikedepankan dan dijunjung tinggi oleh semua pihak.Lebih khusus, Indonesia adalah negara beragama yang berideologi Pancasila, yang menjunjung hak-hak kemanusian yang beradab.

Dalam sudut pandang lain, peristiwa tersebut juga terkesan miris, karena pemerintah (dalam sudut pandang penulis dan beberapa tokoh) seakan-akan abai pada keberlangsungan minoritas di Indonesia. Keberadaan mereka diakui dan memiliki landasan hukum yang sah, namun hak-hak kemanusiaan dan warga negara indonesia mereka tetap bisa direnggut oleh sebagian kelompok (oknum). Yang pada akhirnya ekosistem regulasi yang “lembek” tersebut berpotensi untuk selalu ditunggangi oleh kelompok (oknum) yang merasa bahwa mereka adalah tangan kanan tuhan dan kebenaran (intoleran), untuk melakukan pembungkaman dan pengeksekusian, yang padahal mereka sedang menciderai ketuhanan dan kebenaran itu sendiri.

Salah satu dari sekian pihak yang menyoroti regulasi yang lembek tersebut adalah Jaringan Gusdurian (organisasi), Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, menyampaikan sikap bahwa Jaringan Gusdurian dalam salah satu panel wawancaranya di tv nasional dan instagram resmi Jaringan Gusdurian, yakni meminta pada pemerintah untuk “mencabut SKB 3 Menteri” yang mana regulasi tersebut seringkali dijadikan dalih dan akar penafsiran tindakan inkonstitusional terhadap JAI. Posisi Jaringan Gusdurian di sini memiliki proporsi yang lumayan besar, mengingat organisasi inklusif tersebut adalah “salah satu garda terdepan” dalam menyemai pluralisme, toleransi, dan kerukunan keberagamaan di Indonesia, yang mana melanjutkan perjuangan Gus Dur.

Kemudian yang menjadi sorotan bersama adalah bagaimana para tokoh, ulama, dan pemerintah selalu berupaya mengedukasi umat mengenai batasan-batasan tindakan antar entitas, menjaga harmonisasi keberagaman, juga peningkatan moderasi beragama. Edukasi kepada umat tersebut tentunya harus dilakukan secara sinergi oleh berbagai pihak. Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), melalui Sekertaris Jenderal Helmy Faizshal dalam wawancaranya dengan Radio Trijaya FM dan beberara tv nasional, mengajak segala pihak untuk bermusyawarah dan berdialog dalam menyelesaikan peristiwa JAI sintang dan agar menahan diri dari tindakan yang menyalahi hukum.
Pada akhirnya, semua persekusi dan pengerusakan tersebut adalah buah dari tafsir keagamaan: “Kami benar, kalian salah, dan kalian harus berhenti atau mengikuti kami, kalau tidak mau kami eksekusi.”

Provokator dan massa yang melakukan tindak persekusi dan pengerusakan terhadap JAI dan sarana ibadahnya adalah mereka yang terjebak pada tasfir tersebut. Bagaimana agama yang mereka yakini malah menjadi motivasi untuk mengeksekusi yang tidak sejalan dengan mereka. Tentunya, pemerintah dan pihak terkait harus mengambil langkah lebih tegas yang berorientasi pada keberlangsungan minoritas di Indonesia. Jikapun hal itu menjadi berat karena “fatwa sesat yang melekat pada mereka”, PBNU menegaskan, hal tersebut masih dapat “didialogkan”, yang penting jangan sampai kebeblasan dengan menciderai hak-hak kemanusiaan dan warga negara Indonesia mereka.

Tinjauan Fikih

Kita tahu bahwa ketika Nabi atau para Sahabat memasuki daerah kekuasaan Islam baru (sekalipun melalui peperangan), tidak ada sikap persekusi dan pengerusakan pada sarana umat (samawi dll.), gereja salah satunya. Salah satu konstekstualisasinya hari ini adalah dalam melihat perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang.

Tidak ada dalil yang membenarkan kekerasan atas nama agama Islam, dan tidak ada rumah ibadah yang salah atau sesat, termasuk sebuah bangunan masjid. Hal tersebut tidak terkecuali pada non-muslim. Rasanya hanya orang “mabuk” yang menganggap masjid Ahmadiyah, khususnya di Sintang, adalah sesat. Bagaimana mungkin sebuah bangunan dihukumi sesat?

Tidak ada logika yang pas dengan hal tersebut. Yang perlu disoal adalah jamaah atau kegiatanya, bukan bangunannya. Tetapi, barangkali itu adalah bagian dari tradisi buruk kita: apa pun hal yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak kita sukai, maka secara naluri kita juga tidak akan menyukai hal tersebut.

Seperti yang sudah disinggung di atas, perusakan masjid JAI di Sintang tidak dapat dibenarkan, dan masuk dalam ranah pidana. Lantas, bagaimana hukum dalam Islam atas pengerusakan masjid? Hal ini tentu bisa ditilik melalui ranah fikih.

Perusakan masjid sendiri tergolong tindakan itlaf, khususnya itlaf mubasyir (perusakan langsung). Itlaf sendiri menjadi haram hukumnya, setidaknya karena dua hal. Pertama, haram jika sesuatu tersebut masih dapat mendatangkan/membawa kemaslahatan. Kedua, haram jika tidak adanya izin dari kuasa hukum akan sesuatu tersebut. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah:

الأْصْل في الإْتْلاف: الْحظْر، إِذا كان غيْر مأْذون فيه شرْعا، كإِتْلاف الْمالك ماله الْمنْتفع به
شرْعا وطبْعا.

“Hukum asal itlaf adalah haram, jika memang tidak ada izin dari syarak. Sebagaimana seorang pemilik yang merusakkan hartanya yang masih bisa dimanfaatkan menurut syarak dan tabiat.”

Adapun Syekh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, menjelaskan adanya ganti rugi jika melakukan itlaf, bahkan dalam konteks hanya memakai sesuatu tanpa izin:

الإتلاف هو إخراج الشيئ من أن يكون منتفعا به منفعة مطلوبة منه عادة وهو سبب للضمان ،
وإذا وجب الضمان بالغصب فبالإتلاف أولى لأنه إعتداء وإضرار محض.

“Itlaf (perusakan) adalah mengeluarkan sesuatu dari nilai kebermanfaatannya, sebuah manfaat yang umumnya diharapkan dari sesuatu itu. Itlaf menyebabkan wajibnya ganti rugi (dhaman). Ketika ganti rugi wajib dilakukan karena ghasab (memakai tanpa izin), maka ganti rugi karena telah merusak sesuatu lebih wajib lagi. Hal ini dikarenakan dalam itlaf terdapat unsur permusuhan dan membahayakan orang lain.”

Namun, merombak, memugar masjid dibolehkan ketika ada urgensi atau kebutuhan, tentu dengan kesepakatan semua pihak terkait (kuasa hukum). Misalnya urgensi atau kebutuhan perluasan masjid, agar jamaah tidak kepanasan atau kedinginan. Hal ini dijelaskan oleh Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alawi di dalam kitabnya, Bughyatul Mustarsyidin.
Di atas adalah hukum perusakan masjid yang sudah dijelaskan oleh para ulama, dan tidak ada ikhtilaf pada hal tersebut. Sehingga sudah dapat dipastikan, aksi penghancuran masjid dalam tinjauan fiqh hukumnya haram, dan berdosa bagi yang melakukan. Lebih tegas lagi, Syekh Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa wajib hukumnya untuk mengganti kerusakan yang disebabkan dari aksi pengerusakan. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan